PELUANG USAHA / SENTRA USAHA Memburu lemang hangat di Perbaungan (2) Minggu, 08 Oktober 2017 / 13:15 WIB
KONTAN.CO.ID – Terkenal sebagai makanan khas dari kawasan Tebing Tinggi, Sumatra Utara, tidak membuat para pedagang bisa terus-menerus bisa mengantongi omzet besar. Maklum, tak setiap hari pelanggan datang untuk menikmati lemang.
Hari-hari besar dan musim liburan sekolah menjadi masa panen bagi para pedagang lemang di sepanjang jalan Perbaungan menuju Tebing Tinggi ini. Nurani, salah satu pedagang lemang mengaku, saat hari raya Idul Fitri gerainya selalu kebanjiran konsumen. Bahkan, ramainya pengunjung ini bertahan hingga tujuh hari pasca lebaran.
Konsumennya beragam, mulai dari warga sekitar sampai dengan wisatawan dari berbagai daerah. Sedangkan, untuk musim liburan biasanya rombogan wisawatan yang kerap mampir. "Satu bis singgah di sini dan penumpangnya ramai-ramai belanja," katanya pada KONTAN, Kamis (7/9).
Uniknya, saat bulan Ramadhan penjualan lemang di sepanjang Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai menuju Tebing Tinggi, sepi pembeli. Perempuan berhijab ini mengaku warga setempat kurang suka menjadikan lemang sebagai makanan pembuka setelah sehari berpuasa.
Maklum saja, makanan ini memang tidak baik dikonsumsi saat perut kosong apalagi bagi penderita maag. Alhasil, pada saat itu pembelinya didominasi oleh kaum non muslim.
Lemang, termasuk makanan yang mudah dibuat. Tapi, para pedagang enggan untuk memproduksi sendiri. Alasannya, mereka tidak mau menanggung rugi saat tak laku dijual.
Perempuan yang lebih akrab disapa Ani ini bilang lemang yang tidak laku pada hari itu harus dibuang karena, tidak enak lagi untuk dikonsumsi.
Desi Trisetiani, pedagang lemang lainnya mengatakan, modal yang dibutuhkan untuk memasak pun cukup besar. "Cari bambu susah, harganya pun mahal, belum lagi ketannya," tambahnya.
Makanya, mereka memilih untuk mengambil pasokan lemang dari para pembuatnya. Lantas, mereka mengambil keuntungan saat menjualnya. Asal tahu saja, harga rata-rata lemang dari produsen ke pedagang sekitar Rp 10.000 per batang. Biasanya, mereka menjual dengan harga Rp 15.000 per batang.
Dengan begitu, saat sepi pembeli dan barang masih banyak, mereka tak perlu takut menuai rugi. Hanya saja, uang yang dibawa pulang jumlahnya kecil.
Sebelum, gerai ditutup dan para pedagang kembali ke rumah, pembuat lemang pun akan datang dan menghitung jumlah lemang yang terjual dalam sehari. Biasanya, pedagang langsung membayar sesuai jumlah lemang yang terjual.
Karena menempati lokasi di sepanjang jalan Perbaungan, para pedagang ini juga harus membayar pungutan uang sewa lokasi. Berdasarkan cerita para pedagang, saban hari mereka harus menyiapkan uang sekitar Rp 2.000 untuk diberikan kepada pemungut.
Desi mengaku tidak tahu dan mengenal orang tersebut. "Pokoknya dia mengaku yang pertama kali buka lapak disini, jadi kami nurut saja," ceritanya.
Sekitar sebulan lebih, si pemungut tidak lagi terlihat. Karena, saat itu, keluar surat pemberitahuan bila terhitung sejak bulan Agustus 2017, mereka tidak diperbolehkan untuk berjualan disana. Sayangnya, para pedagang pun masih bertahan karena lokasi yang dianggap cukup strategis. n
Memburu lemang hangat di Perbaungan (2)
PELUANG USAHA / SENTRA USAHA Memburu lemang hangat di Perbaungan (2) Minggu, 08 Oktober 2017 / 13:15 WIB
KONTAN.CO.ID – Terkenal sebagai makanan khas dari kawasan Tebing Tinggi, Sumatra Utara, tidak membuat para pedagang bisa terus-menerus bisa mengantongi omzet besar. Maklum, tak setiap hari pelanggan datang untuk menikmati lemang.
Hari-hari besar dan musim liburan sekolah menjadi masa panen bagi para pedagang lemang di sepanjang jalan Perbaungan menuju Tebing Tinggi ini. Nurani, salah satu pedagang lemang mengaku, saat hari raya Idul Fitri gerainya selalu kebanjiran konsumen. Bahkan, ramainya pengunjung ini bertahan hingga tujuh hari pasca lebaran.
Konsumennya beragam, mulai dari warga sekitar sampai dengan wisatawan dari berbagai daerah. Sedangkan, untuk musim liburan biasanya rombogan wisawatan yang kerap mampir. "Satu bis singgah di sini dan penumpangnya ramai-ramai belanja," katanya pada KONTAN, Kamis (7/9).
Uniknya, saat bulan Ramadhan penjualan lemang di sepanjang Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai menuju Tebing Tinggi, sepi pembeli. Perempuan berhijab ini mengaku warga setempat kurang suka menjadikan lemang sebagai makanan pembuka setelah sehari berpuasa.
Maklum saja, makanan ini memang tidak baik dikonsumsi saat perut kosong apalagi bagi penderita maag. Alhasil, pada saat itu pembelinya didominasi oleh kaum non muslim.
Lemang, termasuk makanan yang mudah dibuat. Tapi, para pedagang enggan untuk memproduksi sendiri. Alasannya, mereka tidak mau menanggung rugi saat tak laku dijual.
Perempuan yang lebih akrab disapa Ani ini bilang lemang yang tidak laku pada hari itu harus dibuang karena, tidak enak lagi untuk dikonsumsi.
Desi Trisetiani, pedagang lemang lainnya mengatakan, modal yang dibutuhkan untuk memasak pun cukup besar. "Cari bambu susah, harganya pun mahal, belum lagi ketannya," tambahnya.
Makanya, mereka memilih untuk mengambil pasokan lemang dari para pembuatnya. Lantas, mereka mengambil keuntungan saat menjualnya. Asal tahu saja, harga rata-rata lemang dari produsen ke pedagang sekitar Rp 10.000 per batang. Biasanya, mereka menjual dengan harga Rp 15.000 per batang.
Dengan begitu, saat sepi pembeli dan barang masih banyak, mereka tak perlu takut menuai rugi. Hanya saja, uang yang dibawa pulang jumlahnya kecil.
Sebelum, gerai ditutup dan para pedagang kembali ke rumah, pembuat lemang pun akan datang dan menghitung jumlah lemang yang terjual dalam sehari. Biasanya, pedagang langsung membayar sesuai jumlah lemang yang terjual.
Karena menempati lokasi di sepanjang jalan Perbaungan, para pedagang ini juga harus membayar pungutan uang sewa lokasi. Berdasarkan cerita para pedagang, saban hari mereka harus menyiapkan uang sekitar Rp 2.000 untuk diberikan kepada pemungut.
Desi mengaku tidak tahu dan mengenal orang tersebut. "Pokoknya dia mengaku yang pertama kali buka lapak disini, jadi kami nurut saja," ceritanya.
Sekitar sebulan lebih, si pemungut tidak lagi terlihat. Karena, saat itu, keluar surat pemberitahuan bila terhitung sejak bulan Agustus 2017, mereka tidak diperbolehkan untuk berjualan disana. Sayangnya, para pedagang pun masih bertahan karena lokasi yang dianggap cukup strategis. n
(Bersambung)
Reporter Tri Sulistiowati Editor Johana K.
SENTRA UKM
[youtube https://www.youtube.com/watch?v=NlBJJUu7JsQ]
Feedback ↑ x Feedback ↓ x Close [X]