Potensi pasar luas, peluang berkebun kakao terbuka
PELUANG USAHA / AGRIBISNIS Potensi pasar luas, peluang berkebun kakao terbuka Selasa, 28 November 2017 / 12:00 WIB
KONTAN.CO.ID – LUWU, SULAWESI SELATAN Seiring berjalannya waktu, kebutuhan industri pengolahan kakao bertambah besar. Namun, kebutuhan itu ternyata tak sebanding dengan produksi kakao di Indonesia. Menurut data The International Cocoa Organization (ICCO), tren produksi kakao Indonesia justru menurun sejak 7 tahun terakhir, yakni dari 700.000 metrikton (MT) menjadi 290.000 MT.
Oleh karena itu, peluang petani kakao di Indonesia masih besar. Alexander, petani kakao asal Desa Kalotok, Luwu Timur, Sulawesi Selatan pun memutuskan kembali menggeluti kakao melanjutkan perkebunan kakao milik orangtuanya. "Jadi petani sebenarnya sejak 1999, tapi saya sempat merantau dari tahun 2001. Tahun 2014 balik ke sini dan jadi petani kakao," ujarnya.
Saat ini, Alex memiliki lahan seluas 4,5 hektare (ha). Namun, baru sekitar 1 ha yang bisa menghasilkan buah kakao. Tiap dua minggu sekali, ia memanen sekitar 900 kilogram (kg) kakao. Dalam sebulan, hasil panennya sekitar 1,8 ton. Namun, "Hasil maksimal 900 kg biasanya pada bulan Maret, April dan Oktober. Kalau bulan-bulan lain rata-rata 500 kg," tuturnya. Seluruh hasil panen kakao di kebunnya diserap oleh industri pengolahan kakao di sekitar Luwu Timur. Harga kakao yang digunakan sesuai dengan acuan harga kakao internasional, yakni sebesar Rp 9.800 per kg basah. "Sejauh ini, saya jual ke industri dalam bentuk basah dan belum dijual ke pasar, karena kakao ini harus diolah dulu," kata Alex. Tak hanya menjual buah kakao, Alex juga membuat bibit kakao untuk dijual ke masyarakat sekitar. Satu bibit kakao dijual Rp 5.000. Dalam satu kali penjualan, Alex bisa menjual sedikitnya 1.000 bibit kakao. Praktis, ia bisa mengantongi omzet sampai Rp 20 juta per bulan dari penjualan buah dan bibit. Manajer Operasional Lapangan dan Sumber Daya Kakao PT Mars Symbioscience Indonesia, A. Amiruddin menjelaskan, Mars memang mengambil sumber kakao dari hasil panen petani lokal. "Biasanya kami beli langsung dari tempat petani atau petani bisa menyetor hasil panennya ke buying station milik Mars," jelasnya. Mars biasanya mendirikan buying station di tiap kabupaten. Amiruddin mengatakan para petani kebanyakan menjual buah kakao dalam bentuk basah. "Kalau mereka jual dalam bentuk kering, harganya bisa tiga kali lipat lebih mahal. Tapi mengeringkan dan fermentasi buah kakao butuh waktu lama dan belum tentu berhasil," tutur Ame. Harga beli kakao akan terpengaruh jika ada panen raya di wilayah Pantai Gading, Afrika. "Harga terkoreksi sedikit, paling sekitar Rp 100 sampai Rp 150 per kg," terangnya. Kakao yang sudah tersertifikasi juga punya harga lebih baik. Selanjutnya Halaman 12 Reporter Elisabeth Adventa Editor Johana K.
Potensi pasar luas, peluang berkebun kakao terbuka
PELUANG USAHA / AGRIBISNIS Potensi pasar luas, peluang berkebun kakao terbuka Selasa, 28 November 2017 / 12:00 WIB
KONTAN.CO.ID – LUWU, SULAWESI SELATAN Seiring berjalannya waktu, kebutuhan industri pengolahan kakao bertambah besar. Namun, kebutuhan itu ternyata tak sebanding dengan produksi kakao di Indonesia. Menurut data The International Cocoa Organization (ICCO), tren produksi kakao Indonesia justru menurun sejak 7 tahun terakhir, yakni dari 700.000 metrikton (MT) menjadi 290.000 MT.
Oleh karena itu, peluang petani kakao di Indonesia masih besar. Alexander, petani kakao asal Desa Kalotok, Luwu Timur, Sulawesi Selatan pun memutuskan kembali menggeluti kakao melanjutkan perkebunan kakao milik orangtuanya. "Jadi petani sebenarnya sejak 1999, tapi saya sempat merantau dari tahun 2001. Tahun 2014 balik ke sini dan jadi petani kakao," ujarnya.
Saat ini, Alex memiliki lahan seluas 4,5 hektare (ha). Namun, baru sekitar 1 ha yang bisa menghasilkan buah kakao. Tiap dua minggu sekali, ia memanen sekitar 900 kilogram (kg) kakao. Dalam sebulan, hasil panennya sekitar 1,8 ton. Namun, "Hasil maksimal 900 kg biasanya pada bulan Maret, April dan Oktober. Kalau bulan-bulan lain rata-rata 500 kg," tuturnya. Seluruh hasil panen kakao di kebunnya diserap oleh industri pengolahan kakao di sekitar Luwu Timur. Harga kakao yang digunakan sesuai dengan acuan harga kakao internasional, yakni sebesar Rp 9.800 per kg basah. "Sejauh ini, saya jual ke industri dalam bentuk basah dan belum dijual ke pasar, karena kakao ini harus diolah dulu," kata Alex. Tak hanya menjual buah kakao, Alex juga membuat bibit kakao untuk dijual ke masyarakat sekitar. Satu bibit kakao dijual Rp 5.000. Dalam satu kali penjualan, Alex bisa menjual sedikitnya 1.000 bibit kakao. Praktis, ia bisa mengantongi omzet sampai Rp 20 juta per bulan dari penjualan buah dan bibit. Manajer Operasional Lapangan dan Sumber Daya Kakao PT Mars Symbioscience Indonesia, A. Amiruddin menjelaskan, Mars memang mengambil sumber kakao dari hasil panen petani lokal. "Biasanya kami beli langsung dari tempat petani atau petani bisa menyetor hasil panennya ke buying station milik Mars," jelasnya. Mars biasanya mendirikan buying station di tiap kabupaten. Amiruddin mengatakan para petani kebanyakan menjual buah kakao dalam bentuk basah. "Kalau mereka jual dalam bentuk kering, harganya bisa tiga kali lipat lebih mahal. Tapi mengeringkan dan fermentasi buah kakao butuh waktu lama dan belum tentu berhasil," tutur Ame. Harga beli kakao akan terpengaruh jika ada panen raya di wilayah Pantai Gading, Afrika. "Harga terkoreksi sedikit, paling sekitar Rp 100 sampai Rp 150 per kg," terangnya. Kakao yang sudah tersertifikasi juga punya harga lebih baik.
Selanjutnya Halaman 1 2 Reporter Elisabeth Adventa Editor Johana K.
KAKAO
[youtube https://www.youtube.com/watch?v=8Joof_3Cqtg]
Feedback ↑ x Feedback ↓ x Close [X]