JAKARTA. Sentra budidaya bawang merah di Desa Mlaten, Kecamatan Mijen, Demak mulai berkembang sejak enam tahun terakhir. Sekitar 30% dari ribuan petani di desa ini mulai menanam bawang merah. Sementara mayoritas petani lainnya masih fokus menanam padi di sawahnya.
Sejak mengembangkan bawang merah, desa ini semakin sering didatangi tengkulak untuk memampung hasil panen petani. Bukan saja tengkulak padi, tapi juga tengkulak bawang merah.
Para tengkulak ini ada yang datang langsung dari Jakarta, Semarang, maupun Surabaya. "Penjualannya sangat mudah, tengkulak banyak langsung datang sendiri, kami bahkan tidak perlu memasarkan lagi," kata Muhsinin, petani bawang di Desa Mlaten.
Senada dengan Muhsinin, Sunaryo juga mengaku sangat terbantu dengan kehadiran para tengkulak ini. Dengan adanya tengkulak, mereka juga tak perlu bersaing lagi dalam memasarkan hasil pertaniannya karena harga jual di tingkat tengkulak relatif sama.
Bahkan, kata Sunaryo, para petani di desa ini saling bertukar pengalaman dalam membudidayakan bawang merah. Terlebih, mereka masih baru mengembangkan tanaman ini sehingga perlu saling memberi masukan.
Muhsinin membenarkan tidak ada persaingan di antara para petani bawang merah di desa ini. Menurutnya, petani justru bersaing dengan bawang impor.
Menurutnya, produksi petani dalam negeri kerap terhempas ketika produk impor masuk bertepatan dengan musim panen. "Kalau impor dibuka persaingan jadi banyak dan kita para petani kecil jadi jatuh pendapatannya," kata Muhsinin.
Ia berharap pemerintah tidak lagi mengimpor hasil pertanian yang bisa dikembangkan di dalam negeri. Menurutnya, komoditas pertanian seperti beras dan bawang merah tak perlu impor karena produksi lokal sudah cukup memenuhi kebutuhan.
Selain terkendala produk impor, ia juga mengeluhkan harga benih bawang merah yang semakin mahal. Untuk mendapatkan 1 kilogram (kg) benih bawang merah, petani harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 50.000-Rp 52.000.
Lantaran harga benih mahal ini tidak semua petani sanggup menanam bawang merah. Menurutnya, hanya petani yang mampu saja yang bisa menjangkau harga benih yang mahal itu. Dia menaksir, kebutuhan modal menanam bawang merah bisa mencapai Rp 50 juta hingga Rp 100 juta.
Sunaryo sendiri memiliki strategi dalam menekan biaya benih. Dari satu hektar lahan miliknya, ia menyiapkan seperempat lahannya untuk ditanami bawang merah. Seperempat lahan itu dibagi lagi sebagian untuk hasil panen dan budidaya benih bawang merah.
Sehingga, ketika masa panen habis Sunaryo masih memiliki cadangan benih sendiri. Menurutnya, cara itu jauh lebih hemat ketimbang harus membeli benih yang harganya mahal.
Bersaing dengan produk impor (3)
PELUANG USAHA / SENTRA USAHA Bersaing dengan produk impor (3) Jumat, 24 Maret 2017 / 16:39 WIB
JAKARTA. Sentra budidaya bawang merah di Desa Mlaten, Kecamatan Mijen, Demak mulai berkembang sejak enam tahun terakhir. Sekitar 30% dari ribuan petani di desa ini mulai menanam bawang merah. Sementara mayoritas petani lainnya masih fokus menanam padi di sawahnya.
Sejak mengembangkan bawang merah, desa ini semakin sering didatangi tengkulak untuk memampung hasil panen petani. Bukan saja tengkulak padi, tapi juga tengkulak bawang merah.
BACA JUGA :
Para tengkulak ini ada yang datang langsung dari Jakarta, Semarang, maupun Surabaya. "Penjualannya sangat mudah, tengkulak banyak langsung datang sendiri, kami bahkan tidak perlu memasarkan lagi," kata Muhsinin, petani bawang di Desa Mlaten.
Senada dengan Muhsinin, Sunaryo juga mengaku sangat terbantu dengan kehadiran para tengkulak ini. Dengan adanya tengkulak, mereka juga tak perlu bersaing lagi dalam memasarkan hasil pertaniannya karena harga jual di tingkat tengkulak relatif sama.
Bahkan, kata Sunaryo, para petani di desa ini saling bertukar pengalaman dalam membudidayakan bawang merah. Terlebih, mereka masih baru mengembangkan tanaman ini sehingga perlu saling memberi masukan.
Muhsinin membenarkan tidak ada persaingan di antara para petani bawang merah di desa ini. Menurutnya, petani justru bersaing dengan bawang impor.
Menurutnya, produksi petani dalam negeri kerap terhempas ketika produk impor masuk bertepatan dengan musim panen. "Kalau impor dibuka persaingan jadi banyak dan kita para petani kecil jadi jatuh pendapatannya," kata Muhsinin.
Ia berharap pemerintah tidak lagi mengimpor hasil pertanian yang bisa dikembangkan di dalam negeri. Menurutnya, komoditas pertanian seperti beras dan bawang merah tak perlu impor karena produksi lokal sudah cukup memenuhi kebutuhan.
Selain terkendala produk impor, ia juga mengeluhkan harga benih bawang merah yang semakin mahal. Untuk mendapatkan 1 kilogram (kg) benih bawang merah, petani harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 50.000-Rp 52.000.
Lantaran harga benih mahal ini tidak semua petani sanggup menanam bawang merah. Menurutnya, hanya petani yang mampu saja yang bisa menjangkau harga benih yang mahal itu. Dia menaksir, kebutuhan modal menanam bawang merah bisa mencapai Rp 50 juta hingga Rp 100 juta.
Sunaryo sendiri memiliki strategi dalam menekan biaya benih. Dari satu hektar lahan miliknya, ia menyiapkan seperempat lahannya untuk ditanami bawang merah. Seperempat lahan itu dibagi lagi sebagian untuk hasil panen dan budidaya benih bawang merah.
Sehingga, ketika masa panen habis Sunaryo masih memiliki cadangan benih sendiri. Menurutnya, cara itu jauh lebih hemat ketimbang harus membeli benih yang harganya mahal.
(Bersambung)
Reporter Danielisa Putriadita
USAHA IKM
Feedback ↑ x Feedback ↓ x