EdConnect tawarkan sistem manajemen sekolah simpel
PELUANG USAHA / START UP EdConnect tawarkan sistem manajemen sekolah simpel Selasa, 14 November 2017 / 16:59 WIB
KONTAN.CO.ID – Digitalisasi berkembang sangat pesat di Indonesia. Toh, masih ada saja yang belum memanfaatkan teknologi secara maksimal. Sebut saja, dunia pendidikan.
Ketika yang lain mulai meninggalkan kertas, dunia pendidikan masih menggunakannya dalam berbagai keperluan. Misalnya, naskah ujian. Padahal, biayanya enggak sedikit.
Ambil contoh, ongkos pengadaan dan distribusi naskah Ujian Nasional 2017 mencapai Rp 85 miliar. Di Mojokerto, Jawa Timur, sebuah SMA harus mengeluarkan biaya fotokopi naskah ujian sebesar Rp 8 juta. Padahal, saat ujian menggunakan komputer tahun lalu, sekolah tersebut tidak mengeluarkan biaya sama sekali.
Contoh lain penggunaan kertas dalam dunia pendidikan adalah pemakaian buku untuk absensi guru dan murid. Nah, biaya-biaya yang tidak efisien ini muncul lantaran belum meratanya pemanfaatan teknologi pada sistem administrasi belajar mengajar di Indonesia.
Berangkat dari fakta-fakta itu, Susanto Tedja tergerak memajukan dunia pendidikan di tanah air lewat kemampuannya di bidang teknologi. Harapannya, dengan digitalisasi, pemilik yayasan, kepala sekolah, guru, murid, juga orangtua siswa bisa dekat, saling mengontrol perkembangan pendidikan.
Susanto bersama Philip Tedja dan Aswin Tanzil pun lantas membesut EdConnect yang resmi beroperasi pertengahan 2015 lalu. Menurut Susanto, setidaknya butuh waktu 1,5 tahun untuk merintis perusahaan rintisan (startup) tersebut.
Sebelum membidani kelahiran EdConnect, Susanto bekerja di Samsung Research & Development Indonesia. Sambil bekerja, ia mengembangkan EdConnect. “Melihat prospeknya bagus, akhirnya saya keluar dari pekerjaan untuk fokus ke bisnis ini,” kata jebolan Binus University, Jakarta, ini.
EdConnect lahir bukan hanya untuk membuat dunia pendidikan lebih efisien dari segi biaya. Juga, buat memudahkan semua pihak untuk terlibat dalam dunia pendidikan. Mulai kelapa sekolah, guru, murid, hingga orangtua siswa.
Dengan EdConnect, Susanto menjabarkan, guru cukup mengabsen, memberi tugas, soal ujian, dan nilai serta memantau rekapitulasi nilai seluruh muridnya lewat ponsel pintar atawa smartphone.
Kemudian, orangtua murid juga bisa memantau secara langsung kegiatan anaknya di sekolah, melihat nilai putra-putrinya tanpa harus menunggu pembagian rapor, serta berkomunikasi dengan guru lewat fitur percakapan (chat) yang ada di aplikasi EdConnect. Sementara bagi sang anak, EdConnect menyediakan fitur reminder jadwal pelajaran dan tugas yang harus mereka kerjakan.
Untuk bisa memanfaatkan aplikasi ini, Susanto yang juga menjabat Chief Technology Officer (CTO) PT Edconnect Solusi Integrasi, bilang, cukup mengunduh secara cuma-cuma alias gratis di Google Play Store. Nama lengkap aplikasinya ialah EdConnect Lite.
Tarif murah
Selain yang gratis, ada pula layanan yang berbayar. Philip Tedja, Marketing Manager Edconnect Solusi, mengatakan, versi enterprise ini sudah banyak yang menggunakan. “Tiga sekolah sudah pakai, SMP dan SMA President University, TK Julia Gabriel, dan International Design School, dengan total 1.200 murid,” ujar dia.
Selain ketiga sekolah itu, ada 13 sekolah lain yang juga menggunakan jasa EdConnect, tetapi memakai label pribadi atawa nama sekolah masing-masing bukan yayasan. Susanto menyebutnya: white labeling.
Tentu, EdConnect Enterprise memiliki fitur yang lebih lengkap ketimbang versi yang gratis. Misalnya, kepala sekolah atau pemilik yayasan bisa mengelola sekolah dengan mudah, efisien dari sisi biaya dan kertas.
Bukan cuma itu, dengan bantuan EdConnect Enterprise, pemilik yayasan bisa mengontrol keuangan sekolah dengan sangat cepat, dan menganalisis jumlah siswa baru yang masuk di tiap jenjang pendidikan.
Dari segi kehadiran, pemilik yayasan dan kepala sekolah lebih bisa mendisiplinkan murid dan guru lewat pantauan absen. Lalu, dapat mengatur kelas dan mencocokkan dengan ketersedian guru juga murid lebih cepat.
Biasanya, proses ini memerlukan tempo hingga dua bulan. “Biayanya Rp 120.000 per anak per tahun atau sekitar Rp 10.000 per bulan. Murah, bukan,” kata Philip.
Untuk white labeling harganya jelas beda. Soalnya, yang membeli EdConnect Enterprise adalah sekolah masing-masing bukan pemilik yayasan.
Sampai akhir 2017, EdConnect menargetkan bisa menambah satu sekolah setiap bulan, atau total tiga sekolah. “Di 2018, target kami bisa menambah 50 sekolah,” sebut Philip.
Saat ini, EdConnect fokus menawarkan layanannya kepada sekolah berbagai tingkat, mulai TK hingga SMA, di Jabodetabek dan Bandung. Mereka juga mulai merambah ke Surabaya. Sedang universitas bukan sasaran utama EdConnect karena perguruan tinggi biasanya sudah memiliki tim teknologi informasi (IT) sendiri.
Untuk bisa menjalankan roda perusahaan rintisan ini, Susanto menyebutkan, modal awalnya sekitar Rp 1 miliar. Modal itu berasal dari kantong pribadi para pendiri EdConnect.
Cuma semestinya, Susanto mengungkapkan, Edconnect sudah bisa mendekap profit. Namun, untuk mengembangkan bisnis, keuntungan itu mereka gunakan untuk merekrut karyawan di bidang pemasaran.
Saat ini, EdConnect sudah memiliki 14 karyawan. Lima diantaranya programmer. Lalu, tiga lainnya desainer dan sisanya di bagian pemasaran.
Guna menghemat pengeluaran, EdConnect menyewa sebuah gudang sebagai tempat kerja. “Kami tidak menaruh perhatian di ruang kerja. Yang penting, ruang kerja multifungsi dan bisa menekan biaya operasional,” tegas Susanto.
Di mata Susanto, kantor hanya sebagai sarana untuk berkumpul para karyawan. Jika memang tak butuh kumpul, bisa kerja dari mana saja sesuai kenyamanan karyawan.
Produk baru
Susanto mengaku, saat ini EdConnect belum gencar mencari pendanaan. Pasalnya, dunia pendidikan bukanlah bidang yang seksi di mata investor.
Startup ini butuh investor yang setengah bisnis dan setengah gairah untuk bergabung dengan EdConnect. “Kami tidak secara aktif cari pendanaan. Lebih utama mengenalkan produk dahulu,” ungkap Susanto.
Setelah bulan lalu meluncurkan EdConnect Lite, bulan ini EdConnect akan merilis layanan Messenger to Parents. Dengan program ini, orangtua murid bisa berkomunikasi lebih intens lagi dengan guru seputar pendidikan anaknya.
Lanjut di November, EdConnect berencana mengeluarkan layanan Computer Based Test. Sejalan dengan kebijakan pemerintah soal ujian berbasis komputer, perusahaan rintisan itu menawarkan program yang melatih siswa sekolah agar terbiasa melakukan ujian di komputer. Penilaiannya secara otomatis dan akan tercatat pada data tiap-tiap murid.
Meski begitu, tak mudah menawarkan aplikasi EdConnect ke sekolah-sekolah. Sebab, sekolah punya birokrasi yang terbilang sulit. Memperoleh izin untuk bisa mengaplikasikan EdConnect di sekolah, Susanto mengungkapkan, merupakan tantangan tersendiri.
Apalagi, di sekolah negeri, lebih sulit ketimbang swasta lantaran lebih terstruktur. “Jadi, kami memang fokus di sekolah swasta dulu. Harapannya, sekolah swasta kelak bisa memberikan contoh untuk sekolah lainnya,” tambah Susanto.
Untuk berubah memang tidak mudah. Meski, perubahan itu membawa kemudahan dan penghematan biaya.
EdConnect tawarkan sistem manajemen sekolah simpel
PELUANG USAHA / START UP EdConnect tawarkan sistem manajemen sekolah simpel Selasa, 14 November 2017 / 16:59 WIB
KONTAN.CO.ID – Digitalisasi berkembang sangat pesat di Indonesia. Toh, masih ada saja yang belum memanfaatkan teknologi secara maksimal. Sebut saja, dunia pendidikan.
Ketika yang lain mulai meninggalkan kertas, dunia pendidikan masih menggunakannya dalam berbagai keperluan. Misalnya, naskah ujian. Padahal, biayanya enggak sedikit.
Ambil contoh, ongkos pengadaan dan distribusi naskah Ujian Nasional 2017 mencapai Rp 85 miliar. Di Mojokerto, Jawa Timur, sebuah SMA harus mengeluarkan biaya fotokopi naskah ujian sebesar Rp 8 juta. Padahal, saat ujian menggunakan komputer tahun lalu, sekolah tersebut tidak mengeluarkan biaya sama sekali.
Contoh lain penggunaan kertas dalam dunia pendidikan adalah pemakaian buku untuk absensi guru dan murid. Nah, biaya-biaya yang tidak efisien ini muncul lantaran belum meratanya pemanfaatan teknologi pada sistem administrasi belajar mengajar di Indonesia.
Berangkat dari fakta-fakta itu, Susanto Tedja tergerak memajukan dunia pendidikan di tanah air lewat kemampuannya di bidang teknologi. Harapannya, dengan digitalisasi, pemilik yayasan, kepala sekolah, guru, murid, juga orangtua siswa bisa dekat, saling mengontrol perkembangan pendidikan.
Susanto bersama Philip Tedja dan Aswin Tanzil pun lantas membesut EdConnect yang resmi beroperasi pertengahan 2015 lalu. Menurut Susanto, setidaknya butuh waktu 1,5 tahun untuk merintis perusahaan rintisan (startup) tersebut.
Sebelum membidani kelahiran EdConnect, Susanto bekerja di Samsung Research & Development Indonesia. Sambil bekerja, ia mengembangkan EdConnect. “Melihat prospeknya bagus, akhirnya saya keluar dari pekerjaan untuk fokus ke bisnis ini,” kata jebolan Binus University, Jakarta, ini.
EdConnect lahir bukan hanya untuk membuat dunia pendidikan lebih efisien dari segi biaya. Juga, buat memudahkan semua pihak untuk terlibat dalam dunia pendidikan. Mulai kelapa sekolah, guru, murid, hingga orangtua siswa.
Dengan EdConnect, Susanto menjabarkan, guru cukup mengabsen, memberi tugas, soal ujian, dan nilai serta memantau rekapitulasi nilai seluruh muridnya lewat ponsel pintar atawa smartphone.
Kemudian, orangtua murid juga bisa memantau secara langsung kegiatan anaknya di sekolah, melihat nilai putra-putrinya tanpa harus menunggu pembagian rapor, serta berkomunikasi dengan guru lewat fitur percakapan (chat) yang ada di aplikasi EdConnect. Sementara bagi sang anak, EdConnect menyediakan fitur reminder jadwal pelajaran dan tugas yang harus mereka kerjakan.
Untuk bisa memanfaatkan aplikasi ini, Susanto yang juga menjabat Chief Technology Officer (CTO) PT Edconnect Solusi Integrasi, bilang, cukup mengunduh secara cuma-cuma alias gratis di Google Play Store. Nama lengkap aplikasinya ialah EdConnect Lite.
Tarif murah
Selain yang gratis, ada pula layanan yang berbayar. Philip Tedja, Marketing Manager Edconnect Solusi, mengatakan, versi enterprise ini sudah banyak yang menggunakan. “Tiga sekolah sudah pakai, SMP dan SMA President University, TK Julia Gabriel, dan International Design School, dengan total 1.200 murid,” ujar dia.
Selain ketiga sekolah itu, ada 13 sekolah lain yang juga menggunakan jasa EdConnect, tetapi memakai label pribadi atawa nama sekolah masing-masing bukan yayasan. Susanto menyebutnya: white labeling.
Tentu, EdConnect Enterprise memiliki fitur yang lebih lengkap ketimbang versi yang gratis. Misalnya, kepala sekolah atau pemilik yayasan bisa mengelola sekolah dengan mudah, efisien dari sisi biaya dan kertas.
Bukan cuma itu, dengan bantuan EdConnect Enterprise, pemilik yayasan bisa mengontrol keuangan sekolah dengan sangat cepat, dan menganalisis jumlah siswa baru yang masuk di tiap jenjang pendidikan.
Dari segi kehadiran, pemilik yayasan dan kepala sekolah lebih bisa mendisiplinkan murid dan guru lewat pantauan absen. Lalu, dapat mengatur kelas dan mencocokkan dengan ketersedian guru juga murid lebih cepat.
Biasanya, proses ini memerlukan tempo hingga dua bulan. “Biayanya Rp 120.000 per anak per tahun atau sekitar Rp 10.000 per bulan. Murah, bukan,” kata Philip.
Untuk white labeling harganya jelas beda. Soalnya, yang membeli EdConnect Enterprise adalah sekolah masing-masing bukan pemilik yayasan.
Sampai akhir 2017, EdConnect menargetkan bisa menambah satu sekolah setiap bulan, atau total tiga sekolah. “Di 2018, target kami bisa menambah 50 sekolah,” sebut Philip.
Saat ini, EdConnect fokus menawarkan layanannya kepada sekolah berbagai tingkat, mulai TK hingga SMA, di Jabodetabek dan Bandung. Mereka juga mulai merambah ke Surabaya. Sedang universitas bukan sasaran utama EdConnect karena perguruan tinggi biasanya sudah memiliki tim teknologi informasi (IT) sendiri.
Untuk bisa menjalankan roda perusahaan rintisan ini, Susanto menyebutkan, modal awalnya sekitar Rp 1 miliar. Modal itu berasal dari kantong pribadi para pendiri EdConnect.
Cuma semestinya, Susanto mengungkapkan, Edconnect sudah bisa mendekap profit. Namun, untuk mengembangkan bisnis, keuntungan itu mereka gunakan untuk merekrut karyawan di bidang pemasaran.
Saat ini, EdConnect sudah memiliki 14 karyawan. Lima diantaranya programmer. Lalu, tiga lainnya desainer dan sisanya di bagian pemasaran.
Guna menghemat pengeluaran, EdConnect menyewa sebuah gudang sebagai tempat kerja. “Kami tidak menaruh perhatian di ruang kerja. Yang penting, ruang kerja multifungsi dan bisa menekan biaya operasional,” tegas Susanto.
Di mata Susanto, kantor hanya sebagai sarana untuk berkumpul para karyawan. Jika memang tak butuh kumpul, bisa kerja dari mana saja sesuai kenyamanan karyawan.
Produk baru
Susanto mengaku, saat ini EdConnect belum gencar mencari pendanaan. Pasalnya, dunia pendidikan bukanlah bidang yang seksi di mata investor.
Startup ini butuh investor yang setengah bisnis dan setengah gairah untuk bergabung dengan EdConnect. “Kami tidak secara aktif cari pendanaan. Lebih utama mengenalkan produk dahulu,” ungkap Susanto.
Setelah bulan lalu meluncurkan EdConnect Lite, bulan ini EdConnect akan merilis layanan Messenger to Parents. Dengan program ini, orangtua murid bisa berkomunikasi lebih intens lagi dengan guru seputar pendidikan anaknya.
Lanjut di November, EdConnect berencana mengeluarkan layanan Computer Based Test. Sejalan dengan kebijakan pemerintah soal ujian berbasis komputer, perusahaan rintisan itu menawarkan program yang melatih siswa sekolah agar terbiasa melakukan ujian di komputer. Penilaiannya secara otomatis dan akan tercatat pada data tiap-tiap murid.
Meski begitu, tak mudah menawarkan aplikasi EdConnect ke sekolah-sekolah. Sebab, sekolah punya birokrasi yang terbilang sulit. Memperoleh izin untuk bisa mengaplikasikan EdConnect di sekolah, Susanto mengungkapkan, merupakan tantangan tersendiri.
Apalagi, di sekolah negeri, lebih sulit ketimbang swasta lantaran lebih terstruktur. “Jadi, kami memang fokus di sekolah swasta dulu. Harapannya, sekolah swasta kelak bisa memberikan contoh untuk sekolah lainnya,” tambah Susanto.
Untuk berubah memang tidak mudah. Meski, perubahan itu membawa kemudahan dan penghematan biaya.
Reporter Francisca Bertha Vistika Editor S.S. Kurniawan
BISNIS START-UP
[youtube https://www.youtube.com/watch?v=mWwjkqwG2KA]
Feedback ↑ x Feedback ↓ x Close [X]