PELUANG USAHA / SENTRA USAHA Menelusuri Laweyan, kampung batik zaman kuno (2) Sabtu, 13 Januari 2018 / 10:20 WIB
KONTAN.CO.ID – Pernah menjadi pusat industri kain tenun dan batik pada jaman Kerajaan Pajang, masa kejayaan Laweyan surut di tahun 1970-an seiring munculnya batik printing. Selain pasar mulai menyukai batik printing yang lebih murah, penghargaan terhadap batik juga kian menurun. Kondisi ini berlangsung hingga tahun 1990-an.
Banyak pemilik usaha yang gulung tikar karena tak sanggup lagi menanggung beban produksi. Mereka menjual, bahkan membuang peralatan di tempat sampah lantaran dianggap tak lagi berguna. Catatan sejarah terkait bukti usaha batik pun banyak yang ikut musnah.
Tahun 2004, warga setempat mulai sadar dan kembali tergugah untuk membangun kembali usaha batik. Kali ini tidak lagi hanya memulai produksi, sebagian dari mereka membangun showroom sebagai tempat pameran produk.
Sebelumnya, seluruh pengusaha batik hanya melakukan proses produksi untuk melayani pembelian dalam partai besar. Sebagian juga membuka toko di pasar Klewer untuk penjualan ritel.
Secara bertahap mereka mulai menggunakan pendekatan wisata untuk mengundang tamu-tamu dalam dan luar negeri. Caranya, dengan mengemas kegiatan membatik dan sejarah Laweyan sebagai salah satu destinasi wisata.
Alhasil, mereka banyak kedatangan tamu Pemerintahan atau komunitas dari berbagai daerah untuk belajar membatik. Yang terbaru, Alpa Febila Priatmono, pemilik Mahkota Batik mengatakan ada beberapa putra-putri dari suku besar Raja Ampat, Papua Barat tinggal beberapa hari untuk belajar proses membatik.
Tidak hanya itu, saat musim pelancong mancanegara datang, dia kerap membuat pertunjukkan seni dalam bentuk pantomim, wayang beber atau lainnya untuk menjelaskan apa itu batik dan wilayah Laweyan.
Setelah itu, barulah wisatawan diajak membatik dengan menggunakan desain masing-masing. Bila ingin sekaligus berwisata sejarah, para wisatawan dapat dipandu oleh tim untuk berkeliling kampung melihat jajaran bagunan nan megah dengan gaya klasik yang menjadi saksi bisu kejayaan kampung batik Laweyan.
Laki-laki berkacamata itu menuturkan bahwa tidak jarang pula banyak para akademisi dan para arsitek atau desainer bagunan yang singgah ke Laweyan untuk melihat-lihat serta mempelajari gaya bagunan.
Asal tahu saja, wilayah Laweyan kini masuk dalam katagori cagar budaya sehingga tata letak serta model bagunan tidak boleh diubah.
Efek dari banyaknya aktivitas dan kunjungan tersebut, ikut mengerek penjualan batik mereka. Dani Arifmawan, pemilik Cempaka Batik mengaku penjualannya dapat meningkat hingga 50% dari biasanya.
Dia membanderol harga batiknya mulai dari Rp 200.000 sampai Rp 8 juta per potong. Dalam sebulan, dia bisa memproduksi hingga 2.000 meter batik cap dan 500 meter batik tulis. Ada sekitar 10 orang karyawan yang membantunya ditahap produksi.
Tidak jauh berbeda, Alpa membanderol harga batiknya mulai dari Rp 300.000 hingga Rp 5 juta per potong. Dia mengatakan saban bulannya dapat menjual ratusan potong kain batik tulis dan cap.
Untuk tahap produksinya, Alpa dibantu oleh 17 orang karyawan. Kebanyakan pembatik disana adalah para ibu-ibu setengah baya.
Menelusuri Laweyan, kampung batik zaman kuno (2)
PELUANG USAHA / SENTRA USAHA Menelusuri Laweyan, kampung batik zaman kuno (2) Sabtu, 13 Januari 2018 / 10:20 WIB
KONTAN.CO.ID – Pernah menjadi pusat industri kain tenun dan batik pada jaman Kerajaan Pajang, masa kejayaan Laweyan surut di tahun 1970-an seiring munculnya batik printing. Selain pasar mulai menyukai batik printing yang lebih murah, penghargaan terhadap batik juga kian menurun. Kondisi ini berlangsung hingga tahun 1990-an.
Banyak pemilik usaha yang gulung tikar karena tak sanggup lagi menanggung beban produksi. Mereka menjual, bahkan membuang peralatan di tempat sampah lantaran dianggap tak lagi berguna. Catatan sejarah terkait bukti usaha batik pun banyak yang ikut musnah.
Tahun 2004, warga setempat mulai sadar dan kembali tergugah untuk membangun kembali usaha batik. Kali ini tidak lagi hanya memulai produksi, sebagian dari mereka membangun showroom sebagai tempat pameran produk.
Sebelumnya, seluruh pengusaha batik hanya melakukan proses produksi untuk melayani pembelian dalam partai besar. Sebagian juga membuka toko di pasar Klewer untuk penjualan ritel.
Secara bertahap mereka mulai menggunakan pendekatan wisata untuk mengundang tamu-tamu dalam dan luar negeri. Caranya, dengan mengemas kegiatan membatik dan sejarah Laweyan sebagai salah satu destinasi wisata.
Alhasil, mereka banyak kedatangan tamu Pemerintahan atau komunitas dari berbagai daerah untuk belajar membatik. Yang terbaru, Alpa Febila Priatmono, pemilik Mahkota Batik mengatakan ada beberapa putra-putri dari suku besar Raja Ampat, Papua Barat tinggal beberapa hari untuk belajar proses membatik.
Tidak hanya itu, saat musim pelancong mancanegara datang, dia kerap membuat pertunjukkan seni dalam bentuk pantomim, wayang beber atau lainnya untuk menjelaskan apa itu batik dan wilayah Laweyan.
Setelah itu, barulah wisatawan diajak membatik dengan menggunakan desain masing-masing. Bila ingin sekaligus berwisata sejarah, para wisatawan dapat dipandu oleh tim untuk berkeliling kampung melihat jajaran bagunan nan megah dengan gaya klasik yang menjadi saksi bisu kejayaan kampung batik Laweyan.
Laki-laki berkacamata itu menuturkan bahwa tidak jarang pula banyak para akademisi dan para arsitek atau desainer bagunan yang singgah ke Laweyan untuk melihat-lihat serta mempelajari gaya bagunan.
Asal tahu saja, wilayah Laweyan kini masuk dalam katagori cagar budaya sehingga tata letak serta model bagunan tidak boleh diubah.
Efek dari banyaknya aktivitas dan kunjungan tersebut, ikut mengerek penjualan batik mereka. Dani Arifmawan, pemilik Cempaka Batik mengaku penjualannya dapat meningkat hingga 50% dari biasanya.
Dia membanderol harga batiknya mulai dari Rp 200.000 sampai Rp 8 juta per potong. Dalam sebulan, dia bisa memproduksi hingga 2.000 meter batik cap dan 500 meter batik tulis. Ada sekitar 10 orang karyawan yang membantunya ditahap produksi.
Tidak jauh berbeda, Alpa membanderol harga batiknya mulai dari Rp 300.000 hingga Rp 5 juta per potong. Dia mengatakan saban bulannya dapat menjual ratusan potong kain batik tulis dan cap.
Untuk tahap produksinya, Alpa dibantu oleh 17 orang karyawan. Kebanyakan pembatik disana adalah para ibu-ibu setengah baya.
(Bersambung)
Reporter Tri Sulistiowati Editor Johana K.
SENTRA UKM
[youtube https://www.youtube.com/watch?v=FfVEn5gUgRo]
Feedback ↑ x Feedback ↓ x Close [X]