PELUANG USAHA / SENTRA USAHA Mengintip produksi songket di Gelgel, Bali (2) Kamis, 08 Juni 2017 / 09:05 WIB
Matahari sudah mulai naik sekitar pukul 11.00 WITA, ketika KONTAN datang. Suasana di Banjar Pegatepan, Desa Gelgel, Klungkung, Bali siang itu tak begitu ramai. Kegiatan masyarakat kebanyakan terpusat di pura. Sebagian yang telah usai beribadah mulai melanjutkan aktivitas.
Seperti yang terlihat di salah satu rumah tenun yang ada di banjar tersebut, tiga orang penenun mulai melakukan produksi. Suara panette (salah satu peralatan menenun) kayu yang beradu dari alat tenun tradisional, saling bersautan, bersanding harmonis dengan lantunan musik tradisional bali yang menemani para penenun bekerja.
Salah satu penenun yang tampak asyik dengan pekerjaannya adalah Nyoman Sukerti. Siang itu, ia baru saja mulai menenun songket dengan motif wajik. Kepada KONTAN, Sukerti menceritakan pengalamannya menjadi penenun.
Sukerti sudah menjadi penenun di rumah tenun tersebut selama dua tahun. Namun, Sukerti yang kini berusia 36 tahun, sudah bisa menenun sejak remaja. “Dulu saya menenun di rumah karena masih ada mesin. Sekarang mesinnya sudah rusak,” ujar Sukerti.
Bergabung dengan rumah tenun, Sukerti bertugas membuat songket. Satu lembar songket yang dia buat biasanya memiliki panjang 175 cm. Motifnya beragam, mulai dari motif antik hingga motif alam seperti bunga atau binatang. “Kadang ada yang pesen juga motifnya berupa inisial nama,” tutur Sukerti.
Tak sembarang mesin tenun bisa digunakan untuk membuat songket. Alat yang digunakan Sukerti adalah Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) dengan jenis cagcag. Untuk menyelesaikan satu lembar songket, ia membutuhkan waktu sekurang-kurangnya 20 hari. Jika motif cukup rumit, penggarapan bisa mencapai sebulan.
Selain cagcag, ada jenis ATBM yang ada di rumah tenun tempat Sukerti bekerja. Alat ini berukuran lebih besar, tapi tak bisa digunakan untuk membuat songket. Kain yang dihasilkan biasanya berupa endek yakni kain tenun khas Bali. Menggunakan mesin ini, penenun bisa hasilkan satu lembar endek setiap harinya.
Bekerja untuk rumah tenun, Sukerti hanya membuat songket sesuai pesanan dari sang pemilik. Bahan baku dan motif pun sudah disediakan. Sukerti tak perlu pusing memikirkan pemasaran hasil tenunnya karena akan langsung ditampung dan dipasarkan oleh rumah tenun tempat ia bekerja.
Dian Agustini, salah satu pemilik rumah tenun sekaligus pengepul kain tenun di Gelgel bilang, penenun songket seperti Sukerti bisa dapat penghasilan Rp 2 juta sebulan. Sementara untuk mereka yang bekerja membuat kain endek, akan diupah sebesar Rp 50 ribu per kain yang diselesaikan. “Kami bayar borongan per kain yang mereka hasilkan, makin rumit motifnya, makin besar pula bayarannya,” jelas Dian.
Dian sendiri saat ini bekerjasama dengan lebih dari 50 penenun di Gelgel. Ia bilang, tak sulit mengajak penenun untuk bergabung dengannya. Pasalnya, kebanyakan penenun sudah memiliki mesin tenun sendiri di rumah.
Baik Sukerti maupun Dian mengakui bahwa saat ini sebagian besar penenun menjual hasil produksinya kepada pengepul, dan juga memilih bekerjasama dengan rumah tenun. Selain membantu pemasaran, mereka juga tak perlu keluarkan modal. “Bahan baku juga semua dari kita,” ujar Dian.n
Mengintip produksi songket di Gelgel, Bali (2)
PELUANG USAHA / SENTRA USAHA Mengintip produksi songket di Gelgel, Bali (2) Kamis, 08 Juni 2017 / 09:05 WIB
Matahari sudah mulai naik sekitar pukul 11.00 WITA, ketika KONTAN datang. Suasana di Banjar Pegatepan, Desa Gelgel, Klungkung, Bali siang itu tak begitu ramai. Kegiatan masyarakat kebanyakan terpusat di pura. Sebagian yang telah usai beribadah mulai melanjutkan aktivitas.
Seperti yang terlihat di salah satu rumah tenun yang ada di banjar tersebut, tiga orang penenun mulai melakukan produksi. Suara panette (salah satu peralatan menenun) kayu yang beradu dari alat tenun tradisional, saling bersautan, bersanding harmonis dengan lantunan musik tradisional bali yang menemani para penenun bekerja.
Salah satu penenun yang tampak asyik dengan pekerjaannya adalah Nyoman Sukerti. Siang itu, ia baru saja mulai menenun songket dengan motif wajik. Kepada KONTAN, Sukerti menceritakan pengalamannya menjadi penenun.
Sukerti sudah menjadi penenun di rumah tenun tersebut selama dua tahun. Namun, Sukerti yang kini berusia 36 tahun, sudah bisa menenun sejak remaja. “Dulu saya menenun di rumah karena masih ada mesin. Sekarang mesinnya sudah rusak,” ujar Sukerti.
Bergabung dengan rumah tenun, Sukerti bertugas membuat songket. Satu lembar songket yang dia buat biasanya memiliki panjang 175 cm. Motifnya beragam, mulai dari motif antik hingga motif alam seperti bunga atau binatang. “Kadang ada yang pesen juga motifnya berupa inisial nama,” tutur Sukerti.
Tak sembarang mesin tenun bisa digunakan untuk membuat songket. Alat yang digunakan Sukerti adalah Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) dengan jenis cagcag. Untuk menyelesaikan satu lembar songket, ia membutuhkan waktu sekurang-kurangnya 20 hari. Jika motif cukup rumit, penggarapan bisa mencapai sebulan.
Selain cagcag, ada jenis ATBM yang ada di rumah tenun tempat Sukerti bekerja. Alat ini berukuran lebih besar, tapi tak bisa digunakan untuk membuat songket. Kain yang dihasilkan biasanya berupa endek yakni kain tenun khas Bali. Menggunakan mesin ini, penenun bisa hasilkan satu lembar endek setiap harinya.
Bekerja untuk rumah tenun, Sukerti hanya membuat songket sesuai pesanan dari sang pemilik. Bahan baku dan motif pun sudah disediakan. Sukerti tak perlu pusing memikirkan pemasaran hasil tenunnya karena akan langsung ditampung dan dipasarkan oleh rumah tenun tempat ia bekerja.
Dian Agustini, salah satu pemilik rumah tenun sekaligus pengepul kain tenun di Gelgel bilang, penenun songket seperti Sukerti bisa dapat penghasilan Rp 2 juta sebulan. Sementara untuk mereka yang bekerja membuat kain endek, akan diupah sebesar Rp 50 ribu per kain yang diselesaikan. “Kami bayar borongan per kain yang mereka hasilkan, makin rumit motifnya, makin besar pula bayarannya,” jelas Dian.
Dian sendiri saat ini bekerjasama dengan lebih dari 50 penenun di Gelgel. Ia bilang, tak sulit mengajak penenun untuk bergabung dengannya. Pasalnya, kebanyakan penenun sudah memiliki mesin tenun sendiri di rumah.
Baik Sukerti maupun Dian mengakui bahwa saat ini sebagian besar penenun menjual hasil produksinya kepada pengepul, dan juga memilih bekerjasama dengan rumah tenun. Selain membantu pemasaran, mereka juga tak perlu keluarkan modal. “Bahan baku juga semua dari kita,” ujar Dian.n
(Bersambung)
Reporter Nisa Dwiresya Putri Editor Johana K.
PELUANG USAHA
Feedback ↑ x Feedback ↓ x Close [X]