PELUANG USAHA / PELUANG USAHA Mengintip sentra batik celaket di Malang (3) Jumat, 14 Juli 2017 / 10:00 WIB
Musim hujan pada iklim tropis tak lagi menjadi masalah bagi para pembatik di sentra batik Celaket. Pasalnya, kini mereka menggunakan perekat warna saat proses pencelupan.
Alhasil, warna tetap dapat melekat pada kain meski tidak ada sinar matahari. Sebelumnya, mereka hanya mengandalkan terik matahari untuk proses pengeringan setelah proses pewarnaan batik celup.
Asal tahu saja, para pembatik disentra ini melakukan proses pewarnaan sendiri. Aris Sulistyo, salah satu perajin mengaku tahapan ini adalah yang paling sulit. Pasalnya, hasil warna yang dihasilkan bisa berbeda meski dilakukan oleh satu orang. "Meski perbedaannya warnanya hanya sedikit, tapi tetap kelihatan beda," katanya pada KONTAN, Jumat (3/7) sambil tertawa.
Selain membuat batik tulis, para pengrajin juga membuat batik cap dan campuran. Biasanya desain batik cap yang digunakan merupakan pesanan dari konsumen. Proses pembuatannya pun lebih cepat, dalam sehari mereka bisa menyelesaikan sampai dua lembar kain.
Saat KONTAN saat mengunjungi lokasi pada 3 Juli 2017 lalu, para pengrajin terlihat sangat bebas dan santai dalam bekerja. Aris mengaku memang pengepul tak pernah memberikan tekanan dalam menyelesaikan pekerjaan. "Jadi kami sendiri yang harus stabil dalam bekerja sehingga hasil kain per bulan jumlahnya tetap," tambahnya.
Tidak adanya tekanan tersebut, sangat membantu mereka dalam berkreasi menciptakan desain batik baru. Maklum saja, ciri khas batik Celaket yang modern dituntut untuk mengikuti perkembangan fesyen yang sedang jadi tren.
Aris bercerita, bila dia bersama perajin batik lainnya sempat berhenti produksi satu bulan saat mengetahui Presiden Joko Widodo mewajibkan menggunakan baju hitam putih di akhir pekan. Merasa kecewa dengan keputusan tersebut, maka dalam sebulan itu mereka mencari ide untuk membuat desain batik sebagai aksi protes.
Kedepan, Aris berharap batik dapat terus berkembang, khususnya batik Celaket bisa mendapatkan posisi tersendiri di hati konsumen. Lainnya, dia berharap anak muda tetap mau menjadi perajin batik. Mengingat, saat ini anak muda lebih memilih bekerja sebagai buruh pabrik atau penjaga toko.
Siti Maisyaroh, perajin lainnya mengaku, tidak ada persaingan antara pembatik disana. Karena, semuanya saling membantu. Bila ada banyak pesanan dalam waktu pendek mereka bersama-sama lembur.
Tidak sama seperti perajin yang berada di galeri, perempuan yang lebih akrab disapa Siti ini mengaku tidak pernah ikut pelatihan untuk meningkatkan kemampuan membatiknya. Dia pun masih belum terpikir untuk membuka usaha batik sendiri karena besarnya modal yang harus disiapkan.
Mengintip sentra batik celaket di Malang (3)
PELUANG USAHA / PELUANG USAHA Mengintip sentra batik celaket di Malang (3) Jumat, 14 Juli 2017 / 10:00 WIB
Musim hujan pada iklim tropis tak lagi menjadi masalah bagi para pembatik di sentra batik Celaket. Pasalnya, kini mereka menggunakan perekat warna saat proses pencelupan.
Alhasil, warna tetap dapat melekat pada kain meski tidak ada sinar matahari. Sebelumnya, mereka hanya mengandalkan terik matahari untuk proses pengeringan setelah proses pewarnaan batik celup.
Asal tahu saja, para pembatik disentra ini melakukan proses pewarnaan sendiri. Aris Sulistyo, salah satu perajin mengaku tahapan ini adalah yang paling sulit. Pasalnya, hasil warna yang dihasilkan bisa berbeda meski dilakukan oleh satu orang. "Meski perbedaannya warnanya hanya sedikit, tapi tetap kelihatan beda," katanya pada KONTAN, Jumat (3/7) sambil tertawa.
Selain membuat batik tulis, para pengrajin juga membuat batik cap dan campuran. Biasanya desain batik cap yang digunakan merupakan pesanan dari konsumen. Proses pembuatannya pun lebih cepat, dalam sehari mereka bisa menyelesaikan sampai dua lembar kain.
Saat KONTAN saat mengunjungi lokasi pada 3 Juli 2017 lalu, para pengrajin terlihat sangat bebas dan santai dalam bekerja. Aris mengaku memang pengepul tak pernah memberikan tekanan dalam menyelesaikan pekerjaan. "Jadi kami sendiri yang harus stabil dalam bekerja sehingga hasil kain per bulan jumlahnya tetap," tambahnya.
Tidak adanya tekanan tersebut, sangat membantu mereka dalam berkreasi menciptakan desain batik baru. Maklum saja, ciri khas batik Celaket yang modern dituntut untuk mengikuti perkembangan fesyen yang sedang jadi tren.
Aris bercerita, bila dia bersama perajin batik lainnya sempat berhenti produksi satu bulan saat mengetahui Presiden Joko Widodo mewajibkan menggunakan baju hitam putih di akhir pekan. Merasa kecewa dengan keputusan tersebut, maka dalam sebulan itu mereka mencari ide untuk membuat desain batik sebagai aksi protes.
Kedepan, Aris berharap batik dapat terus berkembang, khususnya batik Celaket bisa mendapatkan posisi tersendiri di hati konsumen. Lainnya, dia berharap anak muda tetap mau menjadi perajin batik. Mengingat, saat ini anak muda lebih memilih bekerja sebagai buruh pabrik atau penjaga toko.
Siti Maisyaroh, perajin lainnya mengaku, tidak ada persaingan antara pembatik disana. Karena, semuanya saling membantu. Bila ada banyak pesanan dalam waktu pendek mereka bersama-sama lembur.
Tidak sama seperti perajin yang berada di galeri, perempuan yang lebih akrab disapa Siti ini mengaku tidak pernah ikut pelatihan untuk meningkatkan kemampuan membatiknya. Dia pun masih belum terpikir untuk membuka usaha batik sendiri karena besarnya modal yang harus disiapkan.
(Selesai)
Reporter Tri Sulistiowati Editor Johana K.
SENTRA UKM
Feedback ↑ x Feedback ↓ x