KONTAN.CO.ID – Jagung merupakan bahan pangan pokok kedua yang banyak dikonsumsi masyarakat setelah beras. Hampir semua limbah jagung yang berupa tongkol atau bonggol dibuang begitu saja.
Namun, Stefanus Indri Sujatmiko, pemilik Giwari Putra Craft (GWP) asal Yogyakarta berhasil mengangkat nilai bonggol jagung. Berawal dari keprihatinan melihat limbah bonggol jagung yang menumpuk di desanya, Indri tergerak untuk membuat kreasi dari bonggol jagung.
Namun, ia bingung harus memulai dari mana. Lantas, Indri pun menemui Edie Junedi, perajin bonggol jagung di Bogor. Dari proses belajar dengan Edie, Indri mengembangkan alat produksi baru. "Karena Pak Edie masih menggunakan gergaji manual untuk memotong bonggol," ujarnya.
Dibantu oleh sejumlah alumni Institut Seni Indonesia, Indri merakit dan mengembangkan kriya kerajinannya. Alhasil, Giwari Putra Craft (GWP Craft) punya beragam produk, seperti dekorasi rumah seperti lampu meja, meja, kursi, miniatur dan lukisan. Harganya beragam.
Lukisan mulai Rp 2,5 juta-Rp 7 juta, set meja kursi Rp 1,5 juta, miniatur mulai Rp 5 juta dan lamu meja mulai Rp 200.000-Rp 450.000. Indri mengatakan, meski harga bahan baku murah, namun ia mematok harga dari ide kreatif produknya. "Jadi soal harga lebih menghargai proses kreatifnya, bukan sekadar bahan bakunya,” jelas Stefanus. Dalam sebulan, ia menangguk omzet hingga puluhan juta rupiah.
Tak hanya itu, pengolahan bonggol jagung juga cukup rumit. Untuk menyiapkan bonggol hingga siap diproses menjadi produk kerajinan butuh waktu hingga seminggu. Bahkan, untuk menjadi bahan lukisan butuh waktu selama tiga minggu. “Bonggol jagung tidak bisa langsung dipakai. Harus diamplas, dijemur agar tak lembab dan berjamur," terang Indri.
Setelah itu, bonggol juga harus direndam dengan larutan anti serangga dan jamur, lalu dijemur lagi. "Kalau cuaca panas bisa tiga hari, kalau hujan, seperti sekarang ya lumayan lama,” paparnya.
Pelanggan GWP Craft datang dari Jakarta, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali. Kerajinan ini juga dilirik oleh turis mancanegara, seperti Eropa, Kanada dan Arab Saudi. Indri pun berharap penduduk lokal bisa menghargai karya seni seperti kerajinan bonggol jagung kreasinya dan tak memandang sebelah mata hanya dari bahan bakunya.
“Harapannya semoga penduduk lokal lebih menghargai karya seni, karena kalau saya ikut pameran, produk GWP ditawar rendah sekali harganya. Hanya karena bahan bakunya murah. Bahan bakunya memang sampah, tapi produk saya bukan produk sampah kan,” tutupnya.
Menuai berkah bonggol jagung yang dianggap sampah
PELUANG USAHA / PELUANG USAHA, INDUSTRI KREATIF Menuai berkah bonggol jagung yang dianggap sampah Kamis, 09 November 2017 / 13:10 WIB
KONTAN.CO.ID – Jagung merupakan bahan pangan pokok kedua yang banyak dikonsumsi masyarakat setelah beras. Hampir semua limbah jagung yang berupa tongkol atau bonggol dibuang begitu saja.
Namun, Stefanus Indri Sujatmiko, pemilik Giwari Putra Craft (GWP) asal Yogyakarta berhasil mengangkat nilai bonggol jagung. Berawal dari keprihatinan melihat limbah bonggol jagung yang menumpuk di desanya, Indri tergerak untuk membuat kreasi dari bonggol jagung.
Namun, ia bingung harus memulai dari mana. Lantas, Indri pun menemui Edie Junedi, perajin bonggol jagung di Bogor. Dari proses belajar dengan Edie, Indri mengembangkan alat produksi baru. "Karena Pak Edie masih menggunakan gergaji manual untuk memotong bonggol," ujarnya.
Dibantu oleh sejumlah alumni Institut Seni Indonesia, Indri merakit dan mengembangkan kriya kerajinannya. Alhasil, Giwari Putra Craft (GWP Craft) punya beragam produk, seperti dekorasi rumah seperti lampu meja, meja, kursi, miniatur dan lukisan. Harganya beragam.
Lukisan mulai Rp 2,5 juta-Rp 7 juta, set meja kursi Rp 1,5 juta, miniatur mulai Rp 5 juta dan lamu meja mulai Rp 200.000-Rp 450.000.
Indri mengatakan, meski harga bahan baku murah, namun ia mematok harga dari ide kreatif produknya. "Jadi soal harga lebih menghargai proses kreatifnya, bukan sekadar bahan bakunya,” jelas Stefanus. Dalam sebulan, ia menangguk omzet hingga puluhan juta rupiah.
Tak hanya itu, pengolahan bonggol jagung juga cukup rumit. Untuk menyiapkan bonggol hingga siap diproses menjadi produk kerajinan butuh waktu hingga seminggu. Bahkan, untuk menjadi bahan lukisan butuh waktu selama tiga minggu. “Bonggol jagung tidak bisa langsung dipakai. Harus diamplas, dijemur agar tak lembab dan berjamur," terang Indri.
Setelah itu, bonggol juga harus direndam dengan larutan anti serangga dan jamur, lalu dijemur lagi. "Kalau cuaca panas bisa tiga hari, kalau hujan, seperti sekarang ya lumayan lama,” paparnya.
Pelanggan GWP Craft datang dari Jakarta, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali. Kerajinan ini juga dilirik oleh turis mancanegara, seperti Eropa, Kanada dan Arab Saudi. Indri pun berharap penduduk lokal bisa menghargai karya seni seperti kerajinan bonggol jagung kreasinya dan tak memandang sebelah mata hanya dari bahan bakunya.
“Harapannya semoga penduduk lokal lebih menghargai karya seni, karena kalau saya ikut pameran, produk GWP ditawar rendah sekali harganya. Hanya karena bahan bakunya murah. Bahan bakunya memang sampah, tapi produk saya bukan produk sampah kan,” tutupnya.
Reporter Elisabeth Adventa Editor Johana K.
KERAJINAN
[youtube https://www.youtube.com/watch?v=GDUlEJF8ZHg]
Feedback ↑ x Feedback ↓ x Close [X]