PELUANG USAHA / PELUANG USAHA Pasokan bahan baku aman, bisnis ikut lancar Senin, 12 September 2016 / 17:04 WIB
Membesarkan usaha produksi bakso dan olahan daging sejak tahun 1988 silam, Karnadi Winaga, pemilik usaha Sumber Selera, bisa dibilang sudah kenyang makan asam garam tantangan dan hambatan menjadi wirausahawan di sektor pangan.
Mulai dari persaingan dengan para penjiplak produk, sampai pontang panting memenuhi pasokan bahan baku daging sapi di kala suplai daging di pasar hilang diterjang krisis 1997.
Karnadi ingat, masa-masa berat tsunami finansial ketika itu membuatnya harus blusukan sampai ke pasar-pasar hewan di Jawa Tengah. Demi bisa mengamankan stok daging sapi, bahan baku usaha olahan daging yang dia besarkan.
Maklum, ketika krisis menerjang, pasokan daging sapi ikut langka karena hampir semua importir tiarap seiring kejatuhan nilai tukar rupiah.
Karnadi yang mengandalkan daging lokal dan impor sebagai bahan baku produksi, kelimpungan. Padahal, kendati krisis, permintaan atas produk olahan daging masih tetap tumbuh ketika itu.
“Akhirnya, ya, saya keliling langsung ke pasar sapi di daerah. Beli dan potong di sana, lalu dagingnya kami bawa dengan pendingin,” terang dia.
Suplai bahan baku yang stabil memang menjadi salah satu kunci sukses sebuah usaha. Dari bahan baku itulah sebuah produk lahir dan menggerakkan roda penjualan bisnis. Tak terkecuali pada usaha seputar pangan atau kuliner.
Sedikit berbeda dengan segmen usaha nonpangan, bisnis seputar urusan perut boleh jadi menuntut kualifikasi bahan baku yang lebih ketat. Misalnya, bahan baku tidak bisa distok terlalu lama karena kebanyakan terbuat dari bahan segar.
Sedangkan demi pemakaian bahan baku yang segar dibutuhkan demi mengejar kualitas produk terbaik. Di sisi lain, harga dan stok bahan pangan di negeri ini acapkali fluktutatif dan rentan terkerek inflasi. Sebut saja, daging sapi, daging ayam, bawang merah, cabe.
Belum lagi bila bisnis pangan membutuhkan banyak bahan baku impor. Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menjadi salah satu risiko bisnis.
Itu pula yang dihadapi oleh Munajat, pemilik Soya Herba Nusantara yang memproduksi susu bubuk kedelai Mamasoya. Bahan baku utama produk yaitu kedelai, kebanyakan merupakan produk impor.
Alhasil, Munajat beberapa kali menghadapi fluktuasi harga bahan baku akibat pengaruh pergerakan harga dollar AS. “Kalau kenaikan bahan baku banyak, ya, terpaksa kami naikkan harga jual produk,” kata Munajat.
Tantangan lain terkait pasokan bahan baku di bisnis seputar pangan dan kuliner adalah kontinuitas atau keberlanjutan jenis bahan baku. Simak saja pengalaman Pramudi R. Permana, pemilik Abata Donuts dan Rianda Snack di Solo, Jawa Tengah.
Salah satu bahan baku camilan produksi usaha miliknya adalah mentega merek A. Namun, suatu ketika, mentega merek A tersebut langka di pasar karena pabrik produsen mengalami kerusakan mesin.
“Mau tidak mau saya harus ganti dengan mentega merek B daripada produksi malah terhenti,” cerita dia.
Banyak risiko
Risiko-risiko yang muncul terkait manajemen keamanan pasokan bahan baku di bisnis pangan atau kuliner memang tidak sedikit.
Pertama, risiko perubahan kualitas produk. Bila ada salah satu unsur bahan baku yang tidak sesuai standar, sedikit banyak hal itu bakal memengaruhi kualitas produk.
Hal itu yang terjadi pada usaha Pramudi ketika suplai mentega langganan langka di pasar. “Mentega berubah pasti membawa perubahan struktur kue produksi kami ketika itu,” ujar Pramudi.
Perubahan kualitas produksi berisiko memengaruhi penjualan. Pelanggan yang merasa kurang cocok dengan kualitas produksi yang berbeda, bisa jadi tidak lagi loyal membeli di kemudian hari. Alhasil, performa penjualan bisa goyang.
Kedua, risiko biaya. Instabilitas suplai bahan baku di usaha pangan atau kuliner berisiko membengkakkan biaya produksi. Hal ini dialami oleh Agus Ahmadi, pemilik Bebek Goreng Pak Ndut.
Kendati sudah menerapkan manajemen stok, ketika musim permintaan tinggi datang seperti momentum liburan dan hari raya, harga seekor bebek kadangkala ikut melejit naik. “Mau enggak mau, ya, kami tetap membelinya,” kata Agus.
Biaya produksi otomatis meningkat akibat kenaikan harga beli bahan baku. Sedang pemilik usaha tidak bisa serta merta menaikkan harga jual demi menjaga loyalitas pelanggan.
Ketiga, risiko inefisiensi biaya. Acapkali demi mengamankan pasokan bahan baku, pelaku usaha menyetok beberapa bahan sekaligus dalam jumlah tertentu. Strategi ini mungkin akan berguna ketika musim paceklik bahan baku tiba.
Namun, bila tidak cermat menentukan bahan baku yang layak distok lama, risiko kerugian pun terbuka. Ujung-ujungnya, biaya produksi bengkak.
Nah, agar rantai produksi produk pangan atau kuliner bisa stabil, mau tidak mau pelaku usaha dituntut memiliki strategi khusus mengelola pasokan bahan baku.
Dengan begitu, proses produksi langgeng, kualitas produk terjaga dan loyalitas konsumen bisa meningkat. Harapannya, bisnis tumbuh sesuai harapan.
Lantas, apa saja yang perlu ditempuh pelaku usaha segmen pangan agar bisa menerapkan manajemen bahan baku yang tepat?
Berikut saran dan tip dari beberapa pengusaha segmen pangan dan kuliner yang telah berpengalaman dalam mengelola pasokan bahan baku usaha mereka :
Alur produksi
Kelahiran sebuah produk dari suatu usaha telah melewati serangkaian proses atau alur produksi. Anda yang menjalankan bisnis pangan atau kuliner, wajib memahami alur produksi bisnis untuk mengetahui kebutuhan pasokan bahan baku.
Nah, dari sana, Anda baru bisa menyusun strategi paling tepat dalam manajemen inventori. Hal ini ditempuh oleh Pramudi.
Pengusaha donat di Solo ini menyusun proyeksi penjualan di awal proses produksi. “Dari sana, kami perinci kebutuhan tiap bagian,” terang dia.
Setelah itu, bagian gudang akan memesan ke suplier sesuai kebutuhan. Bahan baku yang datang kelak dicatat di kartu stok. Kartu stok ini berguna membantu pengawasan alur keluar masuk barang.
Dengan sistem demikian, akan terlihat kapan posisi bahan baku menipis dan perlu pasokan lagi. “Kami amankan stok untuk operasional dua pekan ke depan karena keterbatasan ruang,” kata Pramudi.
Cara ini bisa diterapkan bagi usaha pangan dengan bahan baku yang relatif awet, seperti usaha kue (cake and pastry) ataupun susu kedelai bubuk.
Munajat misalnya, biasa menyetok bahan baku untuk target produk satu bulan. Bahan baku yang dia butuhkan seperti kedelai dan bahan ekstrak herbal yang bisa awet satu hingga dua bulan.
Sedangkan usaha kuliner yang menuntut pasokan segar seperti usaha bakso atau warung makan bebek, memiliki strategi berbeda lagi.
Bambang Minarno, pemilik gerai Bakso Tengkleng Mas Bambang, menuturkan, pasokan bahan baku usaha yaitu daging sapi dan daging ayam, datang setiap hari dari banyak pemasok. “Semua dikirimkan ke kantor pusat di Wonogiri,” terang dia.
Setelah itu, dia langsung memproses bahan baku tersebut, kemudian Bambang mengemasnya dalam bentuk beku hingga siap disalurkan ke semua cabang gerai di berbagai kota. “Kami pesan bahan baku setiap hari karena setiap hari ada produksi,” kata Bambang.
Setiap hari, kebutuhan pasokan daging usaha bakso milik Bambang mencapai 400 kilogram daging sapi dan 200 kilogram daging ayam. Pasokan bahan baku segar juga dibutuhkan setiap hari oleh usaha bebek goreng seperti milik Agus. Terutama untuk kebutuhan daging bebek. “Rasio stok satu hari,” k
ata Agus.
Amankan pemasok
Usaha gerai makanan seperti bakso atau bebek kebanyakan mengandalkan bahan baku segar sehingga tidak menumpuk stok dalam jumlah banyak. Terutama untuk bahan baku utama seperti daging dan bebek.
Untuk usaha seperti ini, posisi pemasok sangat besar. Selain mengatur pasokan di dapur sendiri, pemilik usaha juga perlu memastikan si supplier agar selalu mengamankan pasokan.
Dus, ketika sewaktu-waktu kebutuhan bahan baku meningkat, si pemasok bisa memenuhi. “Misalnya, mendekati lebaran, kami pastikan ke supplier agar stok bahan baku lebih banyak,” ujar Agus.
Bambang bahkan sengaja mengambil bahan baku dari banyak pemasok untuk menjaga hubungan. “Sebenarnya kebutuhan bahan baku bisa terpenuhi oleh pemasok dari satu atau dua kota saja,” kata dia.
Tapi, dia mengambil bahan baku secara bergantian dari para pemasok di berbagai kota di Jawa Tengah dan Timur, sebagai upaya menjaga hubungan baik. Bambang memilih pemasok terbesar di kota tersebut.
Mengandalkan banyak pemasok juga membantu Bambang membandingkan kualitas bahan baku. Selain meminimalkan risiko kualitas bahan baku yang jelek, dari sisi harga juga dia lebih leluasa memilih yang paling kompetitif.
Kenali grafik permintaan
Pasokan bahan baku otomatis naik ketika permintaan pasar tengah tinggi. Misalnya, ketika musim liburan datang atau saat lebaran.
Mengenali grafik tingkat permintaan akan membantu pelaku usaha mengantisipasi kebutuhan bahan baku. “Solusi saya, bahan baku harus aman sejak 2 bulan sebelum puasa,” kata Pramudi.
Beruntung, bahan baku usaha Pramudi kebanyakan cukup tahan lama. Pemilik usaha perlu mengkomunikasikan pada pemasok agar ikut bersiap mengirim bahan baku lebih banyak. Terlebih bila ada bahan impor yang memakan waktu pemesanan.
Langkah antisipasi serupa juga ditempuh oleh Bambang. Jelang masa puncak permintaan, setiap cabang menghitung kebutuhan daging.
“Misalkan kebutuhan hingga 2 ton tapi kapasitas produksi kami 0,5 ton, maka kami cicil produksi sebelum peak seasons,” terang Bambang. Barang pendukung seperti freezer juga harus disiapkan lebih banyak
Bila manajemen bahan baku cermat, putaran roda bisnis pun bisa lancar.
Reporter Oginawa R Prayogo, Ruisa Khoiriyah Editor S.S. Kurniawan
Pasokan bahan baku aman, bisnis ikut lancar
PELUANG USAHA / PELUANG USAHA Pasokan bahan baku aman, bisnis ikut lancar Senin, 12 September 2016 / 17:04 WIB
Membesarkan usaha produksi bakso dan olahan daging sejak tahun 1988 silam, Karnadi Winaga, pemilik usaha Sumber Selera, bisa dibilang sudah kenyang makan asam garam tantangan dan hambatan menjadi wirausahawan di sektor pangan.
Mulai dari persaingan dengan para penjiplak produk, sampai pontang panting memenuhi pasokan bahan baku daging sapi di kala suplai daging di pasar hilang diterjang krisis 1997.
Karnadi ingat, masa-masa berat tsunami finansial ketika itu membuatnya harus blusukan sampai ke pasar-pasar hewan di Jawa Tengah. Demi bisa mengamankan stok daging sapi, bahan baku usaha olahan daging yang dia besarkan.
Maklum, ketika krisis menerjang, pasokan daging sapi ikut langka karena hampir semua importir tiarap seiring kejatuhan nilai tukar rupiah.
Karnadi yang mengandalkan daging lokal dan impor sebagai bahan baku produksi, kelimpungan. Padahal, kendati krisis, permintaan atas produk olahan daging masih tetap tumbuh ketika itu.
“Akhirnya, ya, saya keliling langsung ke pasar sapi di daerah. Beli dan potong di sana, lalu dagingnya kami bawa dengan pendingin,” terang dia.
Suplai bahan baku yang stabil memang menjadi salah satu kunci sukses sebuah usaha. Dari bahan baku itulah sebuah produk lahir dan menggerakkan roda penjualan bisnis. Tak terkecuali pada usaha seputar pangan atau kuliner.
Sedikit berbeda dengan segmen usaha nonpangan, bisnis seputar urusan perut boleh jadi menuntut kualifikasi bahan baku yang lebih ketat. Misalnya, bahan baku tidak bisa distok terlalu lama karena kebanyakan terbuat dari bahan segar.
Sedangkan demi pemakaian bahan baku yang segar dibutuhkan demi mengejar kualitas produk terbaik. Di sisi lain, harga dan stok bahan pangan di negeri ini acapkali fluktutatif dan rentan terkerek inflasi. Sebut saja, daging sapi, daging ayam, bawang merah, cabe.
Belum lagi bila bisnis pangan membutuhkan banyak bahan baku impor. Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menjadi salah satu risiko bisnis.
Itu pula yang dihadapi oleh Munajat, pemilik Soya Herba Nusantara yang memproduksi susu bubuk kedelai Mamasoya. Bahan baku utama produk yaitu kedelai, kebanyakan merupakan produk impor.
Alhasil, Munajat beberapa kali menghadapi fluktuasi harga bahan baku akibat pengaruh pergerakan harga dollar AS. “Kalau kenaikan bahan baku banyak, ya, terpaksa kami naikkan harga jual produk,” kata Munajat.
Tantangan lain terkait pasokan bahan baku di bisnis seputar pangan dan kuliner adalah kontinuitas atau keberlanjutan jenis bahan baku. Simak saja pengalaman Pramudi R. Permana, pemilik Abata Donuts dan Rianda Snack di Solo, Jawa Tengah.
Salah satu bahan baku camilan produksi usaha miliknya adalah mentega merek A. Namun, suatu ketika, mentega merek A tersebut langka di pasar karena pabrik produsen mengalami kerusakan mesin.
“Mau tidak mau saya harus ganti dengan mentega merek B daripada produksi malah terhenti,” cerita dia.
Banyak risiko
Risiko-risiko yang muncul terkait manajemen keamanan pasokan bahan baku di bisnis pangan atau kuliner memang tidak sedikit.
Pertama, risiko perubahan kualitas produk. Bila ada salah satu unsur bahan baku yang tidak sesuai standar, sedikit banyak hal itu bakal memengaruhi kualitas produk.
Hal itu yang terjadi pada usaha Pramudi ketika suplai mentega langganan langka di pasar. “Mentega berubah pasti membawa perubahan struktur kue produksi kami ketika itu,” ujar Pramudi.
Perubahan kualitas produksi berisiko memengaruhi penjualan. Pelanggan yang merasa kurang cocok dengan kualitas produksi yang berbeda, bisa jadi tidak lagi loyal membeli di kemudian hari. Alhasil, performa penjualan bisa goyang.
Kedua, risiko biaya. Instabilitas suplai bahan baku di usaha pangan atau kuliner berisiko membengkakkan biaya produksi. Hal ini dialami oleh Agus Ahmadi, pemilik Bebek Goreng Pak Ndut.
Kendati sudah menerapkan manajemen stok, ketika musim permintaan tinggi datang seperti momentum liburan dan hari raya, harga seekor bebek kadangkala ikut melejit naik. “Mau enggak mau, ya, kami tetap membelinya,” kata Agus.
Biaya produksi otomatis meningkat akibat kenaikan harga beli bahan baku. Sedang pemilik usaha tidak bisa serta merta menaikkan harga jual demi menjaga loyalitas pelanggan.
Ketiga, risiko inefisiensi biaya. Acapkali demi mengamankan pasokan bahan baku, pelaku usaha menyetok beberapa bahan sekaligus dalam jumlah tertentu. Strategi ini mungkin akan berguna ketika musim paceklik bahan baku tiba.
Namun, bila tidak cermat menentukan bahan baku yang layak distok lama, risiko kerugian pun terbuka. Ujung-ujungnya, biaya produksi bengkak.
Nah, agar rantai produksi produk pangan atau kuliner bisa stabil, mau tidak mau pelaku usaha dituntut memiliki strategi khusus mengelola pasokan bahan baku.
Dengan begitu, proses produksi langgeng, kualitas produk terjaga dan loyalitas konsumen bisa meningkat. Harapannya, bisnis tumbuh sesuai harapan.
Lantas, apa saja yang perlu ditempuh pelaku usaha segmen pangan agar bisa menerapkan manajemen bahan baku yang tepat?
Berikut saran dan tip dari beberapa pengusaha segmen pangan dan kuliner yang telah berpengalaman dalam mengelola pasokan bahan baku usaha mereka :
Alur produksi
Kelahiran sebuah produk dari suatu usaha telah melewati serangkaian proses atau alur produksi. Anda yang menjalankan bisnis pangan atau kuliner, wajib memahami alur produksi bisnis untuk mengetahui kebutuhan pasokan bahan baku.
Nah, dari sana, Anda baru bisa menyusun strategi paling tepat dalam manajemen inventori. Hal ini ditempuh oleh Pramudi.
Pengusaha donat di Solo ini menyusun proyeksi penjualan di awal proses produksi. “Dari sana, kami perinci kebutuhan tiap bagian,” terang dia.
Setelah itu, bagian gudang akan memesan ke suplier sesuai kebutuhan. Bahan baku yang datang kelak dicatat di kartu stok. Kartu stok ini berguna membantu pengawasan alur keluar masuk barang.
Dengan sistem demikian, akan terlihat kapan posisi bahan baku menipis dan perlu pasokan lagi. “Kami amankan stok untuk operasional dua pekan ke depan karena keterbatasan ruang,” kata Pramudi.
Cara ini bisa diterapkan bagi usaha pangan dengan bahan baku yang relatif awet, seperti usaha kue (cake and pastry) ataupun susu kedelai bubuk.
Munajat misalnya, biasa menyetok bahan baku untuk target produk satu bulan. Bahan baku yang dia butuhkan seperti kedelai dan bahan ekstrak herbal yang bisa awet satu hingga dua bulan.
Sedangkan usaha kuliner yang menuntut pasokan segar seperti usaha bakso atau warung makan bebek, memiliki strategi berbeda lagi.
Bambang Minarno, pemilik gerai Bakso Tengkleng Mas Bambang, menuturkan, pasokan bahan baku usaha yaitu daging sapi dan daging ayam, datang setiap hari dari banyak pemasok. “Semua dikirimkan ke kantor pusat di Wonogiri,” terang dia.
Setelah itu, dia langsung memproses bahan baku tersebut, kemudian Bambang mengemasnya dalam bentuk beku hingga siap disalurkan ke semua cabang gerai di berbagai kota. “Kami pesan bahan baku setiap hari karena setiap hari ada produksi,” kata Bambang.
Setiap hari, kebutuhan pasokan daging usaha bakso milik Bambang mencapai 400 kilogram daging sapi dan 200 kilogram daging ayam. Pasokan bahan baku segar juga dibutuhkan setiap hari oleh usaha bebek goreng seperti milik Agus. Terutama untuk kebutuhan daging bebek. “Rasio stok satu hari,” k
ata Agus.
Amankan pemasok
Usaha gerai makanan seperti bakso atau bebek kebanyakan mengandalkan bahan baku segar sehingga tidak menumpuk stok dalam jumlah banyak. Terutama untuk bahan baku utama seperti daging dan bebek.
Untuk usaha seperti ini, posisi pemasok sangat besar. Selain mengatur pasokan di dapur sendiri, pemilik usaha juga perlu memastikan si supplier agar selalu mengamankan pasokan.
Dus, ketika sewaktu-waktu kebutuhan bahan baku meningkat, si pemasok bisa memenuhi. “Misalnya, mendekati lebaran, kami pastikan ke supplier agar stok bahan baku lebih banyak,” ujar Agus.
Bambang bahkan sengaja mengambil bahan baku dari banyak pemasok untuk menjaga hubungan. “Sebenarnya kebutuhan bahan baku bisa terpenuhi oleh pemasok dari satu atau dua kota saja,” kata dia.
Tapi, dia mengambil bahan baku secara bergantian dari para pemasok di berbagai kota di Jawa Tengah dan Timur, sebagai upaya menjaga hubungan baik. Bambang memilih pemasok terbesar di kota tersebut.
Mengandalkan banyak pemasok juga membantu Bambang membandingkan kualitas bahan baku. Selain meminimalkan risiko kualitas bahan baku yang jelek, dari sisi harga juga dia lebih leluasa memilih yang paling kompetitif.
Kenali grafik permintaan
Pasokan bahan baku otomatis naik ketika permintaan pasar tengah tinggi. Misalnya, ketika musim liburan datang atau saat lebaran.
Mengenali grafik tingkat permintaan akan membantu pelaku usaha mengantisipasi kebutuhan bahan baku. “Solusi saya, bahan baku harus aman sejak 2 bulan sebelum puasa,” kata Pramudi.
Beruntung, bahan baku usaha Pramudi kebanyakan cukup tahan lama. Pemilik usaha perlu mengkomunikasikan pada pemasok agar ikut bersiap mengirim bahan baku lebih banyak. Terlebih bila ada bahan impor yang memakan waktu pemesanan.
Langkah antisipasi serupa juga ditempuh oleh Bambang. Jelang masa puncak permintaan, setiap cabang menghitung kebutuhan daging.
“Misalkan kebutuhan hingga 2 ton tapi kapasitas produksi kami 0,5 ton, maka kami cicil produksi sebelum peak seasons,” terang Bambang. Barang pendukung seperti freezer juga harus disiapkan lebih banyak
Bila manajemen bahan baku cermat, putaran roda bisnis pun bisa lancar.
Reporter Oginawa R Prayogo, Ruisa Khoiriyah Editor S.S. Kurniawan
KIAT USAHA
Feedback ↑ x Feedback ↓ x