PELUANG USAHA / START UP Tempat pelancong dan orang lokal bertemu Sabtu, 30 September 2017 / 10:00 WIB
KONTAN.CO.ID – Daya beli masyarakat lesu. Kalimat ini belakangan semakin nyaring terdengar, seiring rilis data pertumbuhan ekonomi yang melambat dan deflasi yang keluar dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Data penjualan ritel yang turun semakin memperkuat data-data dari lembaga statistik itu. Tapi, BPS mencatat, justru terjadi peningkatan konsumsi untuk kegiatan bersenang-senang.
Misalnya, liburan ke tempat-tempat wisata dan makan di restoran. Konsumsi rumahtangga untuk leisure pada kuartal dua tahun ini tumbuh 6,25%, lebih tinggi dari pertumbuhan di triwulan satu cuma 5,5%.
Tak heran, pameran perjalanan Kompas Travel Fair 2017 yang digelar akhir pekan lalu penuh sesak pengunjung. Antrean pengunjung yang akan membeli tiket masuk mengular hingga keluar areal Jakarta Convention Center (JCC), tempat pameran berlangsung.
Maklum, pameran perjalanan menawarkan tiket pesawat murah hingga diskon paket wisata, baik di dalam maupun luar negeri. Tapi, seiring bermunculan tempat-tempat wisata baru atau yang selama ini tersembunyi di tanah air, minat masyarakat kita untuk pelesiran di negeri sendiri semakin besar.
Meski begitu, masih banyak, lo, lokasi wisata di Indonesia yang belum betul-betul terungkap ke publik. Hanya orang-orang tertentu saja terutama penduduk lokal yang tahu.
Kevin Wu melihat peluang ini. Bersama sejumlah temannya, ia lantas membangun perusahaan rintisan alias start-up pada Mei 2017 lalu, dengan mengusung nama Tripal.
Platform digital ini merupakan marketplace yang mempertemukan pelancong (traveler) dengan orang lokal (pal) yang bersedia jadi sahabat perjalanan para wisatawan. Tripal memungkinkan pelancong terhubung dengan orang lokal untuk menikmati wisata unik, kuliner khas, dari sudut pandang warga setempat yang belum tentu diketahui oleh turis umum.
Pasarkan potensi lokal
Ide awal mendirikan Tripal yang merupakan singkatan dari trip dan pal yang berarti sahabat perjalanan, Kevin mengungkapkan, berangkat dari pengalamannya tahun lalu.
Kesibukan sebagai Wakil Ketua Komite Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang UMKM & Industri Kreatif mengantarkannya ke berbagai daerah di Indonesia. Sehingga, Kevin bisa menikmati potensi-potensi terpendam dari daerah-daerah tersebut.
Suatu hari, Kevin berkunjung ke Lampung dan meminta penduduk setempat untuk mengantarkannya ke lokasi yang otentik. Akhirnya, orang itu mengajak penulis buku Berubah Atau Punah ini ke sebuah kedai kopi ukuran 3 x 6 meter yang ada di dalam gang sempit sebuah pasar tradisional.
Kedai kopi yang tak memiliki nama tersebut sangat eksotik. Dan ketika itu, banyak pengunjung berusia senior sedang menikmati segelas kopi di kedai itu.
Kevin pun mencoba mencari jejak digital kedai ini di mesin pencari Google, tapi tidak ada. Padahal, kedai itu sudah berdiri tiga generasi. “Pemiliknya mengaku gaptek (gagap teknologi), jadi tak tahu cara memasarkannya via internet,” kata Kevin yang juga Chief Executive Officer (CEO) Tripal.
Nah, lewat Tripal, Kevin berusaha memasarkan potensi-potensi lokal, baik kuliner maupun tempat wisata, untuk bisa bertahan di era digital.
Selain itu, Wakil Ketua Badan Otonom Pendidikan dan Pelatihan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) ini juga percaya, ketika ingin berkunjung ke suatu tempat, pelancong tidak hanya ingin tahu tempat-tempat yang populer saja. Apalagi, generasi milenial yang kepingin tahu tempat-tempat baru.
Dan, generasi milenial biasanya mengandalkan aplikasi untuk pelesiran ke tempat-tempat yang belum terkenal. Cuma, aplikasi baru menunjukkan tempat-tempat yang direkomendasikan (recommended).
Padahal, banyak tempat menarik lagi unik yang belum ada di aplikasi. “Tripal hadir memberi solusi, bagaimana menemukan pelancong dengan orang lokal. Sebagai orang lokal, dia tentu cukup lama tinggal di daerah itu sehingga tahu semua aspek daerah itu,” ungkap Kevin.
Menurut Kevin, orang lokal lebih jujur dalam memberikan rekomendasi tempat-tempat wisata di daerahnya. Beda dengan agen perjalanan yang lebih sering mengantar bukan ke tempat yang otentik, justru ke lokasi-lokasi yang memberikan diskon atau komisi buat pemandu wisata (guide).
Alhasil, pengalaman pelancong sebagai konsumen jadi tidak maksimal lantaran ada distorsi. “Orang lokal tidak punya MoU (nota kesepahaman) dengan tempat wisata sekitar. Sehingga, tidak ada kepentingan lain dalam mempromosikan wisata itu,” ujar Kevin.
Cari pendanaan
Untuk menjalankan Tripal, Kevin masih menggunakan modal dari kocek pribadi. Pengeluaran paling besar untuk operasional. Sebab, Kevin dan tim harus datang ke daerah-daerah yang jadi destinasi wisata yang akan ditawarkan di Tripal.
Untuk itu, Kevin berharap ada investor yang tertarik menanamkan modal di Tripal. Dan, ia mengaku, saat ini dirinya sudah banyak bicara dengan inkubator maupun investor perseorangan yang berminat memberikan pendanaan. “Tapi, masih dalam tahap penjajakan,” ucap jebolan Kwik Kian Gie School of Business, Jakarta, ini.
Baru efektif Mei lalu, Kevin bilang, sampai sekarang sudah lebih dari 100 tujuan lokal dari 17 provinsi yang bergabung di Tripal sebagai sahabat lokal (Pal). Bagi yang ingin menjadi Pal, tidak ada pungutan biaya alias gratis. Siapapun, baik mahasiswa, ibu rumahtangga, maupun orang lokal lainnya, bisa mendaftar jadi Pal.
Hanya, ada beberapa aturan main agar bisa bergabung di Tripal sebagai sahabat lokal. Contoh, calon Pal mesti melakukan dua kali verifikasi.
Pertama, verifikasi online. Kedua, verifikasi offline dengan tatap muka atau wawancara dengan perwakilan Tripal di daerah.
Setelah itu, “Kami akan berikan pengayaan dengan e-learning, berupa video, e-book, seminar, dan lainnya, agar Pal bisa belajar menjadi pemandu lokal yang baik,” tambah Kevin.
Juga untuk memastikan kualitas layanan Pal, Tripal menggandeng berbagai pihak untuk menyediakan pelatihan dan pendampingan pengembangan wisata lokal.
Contohnya, dengan Sinergi Indonesia yang akan menghubungkan berbagai pihak untuk menyediakan program pelatihan wisata lokal dan wisata desa. Pelatihan ini sekaligus jadi mekanisme verifikasi kualitas para calon Pal.
Di Tripal, pelancong bisa memilih bahkan merancang sendiri paket perjalanannya, dengan agenda dan tujuan wisata yang fleksibel, tempat makan lokal legendaris, dan kebutuhan tailor made tour lainnya. Termasuk, pemesanan transportasi dan akomodasi unik milik orang lokal atawa homestay.
Nah, Tripal memungut biaya transaksi sebesar 18% kepada pengguna. Dengan begitu, uang yang masuk ke kantong Pal sudah bersih, tidak terkena potongan apapun.
Misalnya, Pal meminta bayaran Rp 200.000 per hari untuk jasanya. Maka, traveler mesti membayar Rp 200.000 plus biaya transaksi 18% dari tarif jasa Pal.
Untuk pembayaran transaksi, Tripal bekerjasama dengan Doku sebagai penyedia layanan payment gateway.
Pendapatan Pal tidak hanya berasal dari biaya jasa menemani para pelancong. Pemandu lokal ini juga bisa memperoleh pemasukan dari jasa paket wisata yang mereka buat dan tawarkan ke wisatawan.
Tripal menawarkan 10 pilihan perjalanan, yakni liburan romantis, liburan santai, perjalanan bisnis, petualangan, wisata alam, wisata belanja, wisata budaya, wisata keluarga, wisata kota, dan wisata kuliner.
Saat ini, platform digital Tripal masih berupa website tripal.co. Dalam waktu dekat, startup itu akan meluncurkan aplikasi bergerak (mobile application). “Kami merasa, bisa lebih lincah jika orang-orang lokal manfaatkan aplikasi mobile Tripal,” kata Kevin.
Ke depan, Kevin optimistis, potensi bisnisnya bakal cerah, mengingat pemerintah dan berbagai pihak sedang gencar mempromosikan pariwisata Indonesia. Terlebih, 90% generasi milenial sudah menggunakan aplikasi sejenis Tripal untuk membantu merancang liburan, tapi belum mendapatkan pengalaman sesuai harapan.
“Platform kami menjawab kebutuhan para traveller yang bergaya hidup milenial, yang ingin pengalaman melancongnya beda, khas lokal, dan tidak terkungkung dengan jadwal dan paket perjalanan yang kaku seperti di paket-paket tur perjalanan umumnya.” ujar Kevin.
Lebih dari itu, Tripal jadi teknologi bantu bagi warga lokal untuk mengembangkan, mengelola, dan memasarkan sendiri potensi wisata daerah.
Tempat pelancong dan orang lokal bertemu
PELUANG USAHA / START UP Tempat pelancong dan orang lokal bertemu Sabtu, 30 September 2017 / 10:00 WIB
KONTAN.CO.ID – Daya beli masyarakat lesu. Kalimat ini belakangan semakin nyaring terdengar, seiring rilis data pertumbuhan ekonomi yang melambat dan deflasi yang keluar dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Data penjualan ritel yang turun semakin memperkuat data-data dari lembaga statistik itu. Tapi, BPS mencatat, justru terjadi peningkatan konsumsi untuk kegiatan bersenang-senang.
Misalnya, liburan ke tempat-tempat wisata dan makan di restoran. Konsumsi rumahtangga untuk leisure pada kuartal dua tahun ini tumbuh 6,25%, lebih tinggi dari pertumbuhan di triwulan satu cuma 5,5%.
Tak heran, pameran perjalanan Kompas Travel Fair 2017 yang digelar akhir pekan lalu penuh sesak pengunjung. Antrean pengunjung yang akan membeli tiket masuk mengular hingga keluar areal Jakarta Convention Center (JCC), tempat pameran berlangsung.
Maklum, pameran perjalanan menawarkan tiket pesawat murah hingga diskon paket wisata, baik di dalam maupun luar negeri. Tapi, seiring bermunculan tempat-tempat wisata baru atau yang selama ini tersembunyi di tanah air, minat masyarakat kita untuk pelesiran di negeri sendiri semakin besar.
Meski begitu, masih banyak, lo, lokasi wisata di Indonesia yang belum betul-betul terungkap ke publik. Hanya orang-orang tertentu saja terutama penduduk lokal yang tahu.
Kevin Wu melihat peluang ini. Bersama sejumlah temannya, ia lantas membangun perusahaan rintisan alias start-up pada Mei 2017 lalu, dengan mengusung nama Tripal.
Platform digital ini merupakan marketplace yang mempertemukan pelancong (traveler) dengan orang lokal (pal) yang bersedia jadi sahabat perjalanan para wisatawan. Tripal memungkinkan pelancong terhubung dengan orang lokal untuk menikmati wisata unik, kuliner khas, dari sudut pandang warga setempat yang belum tentu diketahui oleh turis umum.
Pasarkan potensi lokal
Ide awal mendirikan Tripal yang merupakan singkatan dari trip dan pal yang berarti sahabat perjalanan, Kevin mengungkapkan, berangkat dari pengalamannya tahun lalu.
Kesibukan sebagai Wakil Ketua Komite Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang UMKM & Industri Kreatif mengantarkannya ke berbagai daerah di Indonesia. Sehingga, Kevin bisa menikmati potensi-potensi terpendam dari daerah-daerah tersebut.
Suatu hari, Kevin berkunjung ke Lampung dan meminta penduduk setempat untuk mengantarkannya ke lokasi yang otentik. Akhirnya, orang itu mengajak penulis buku Berubah Atau Punah ini ke sebuah kedai kopi ukuran 3 x 6 meter yang ada di dalam gang sempit sebuah pasar tradisional.
Kedai kopi yang tak memiliki nama tersebut sangat eksotik. Dan ketika itu, banyak pengunjung berusia senior sedang menikmati segelas kopi di kedai itu.
Kevin pun mencoba mencari jejak digital kedai ini di mesin pencari Google, tapi tidak ada. Padahal, kedai itu sudah berdiri tiga generasi. “Pemiliknya mengaku gaptek (gagap teknologi), jadi tak tahu cara memasarkannya via internet,” kata Kevin yang juga Chief Executive Officer (CEO) Tripal.
Nah, lewat Tripal, Kevin berusaha memasarkan potensi-potensi lokal, baik kuliner maupun tempat wisata, untuk bisa bertahan di era digital.
Selain itu, Wakil Ketua Badan Otonom Pendidikan dan Pelatihan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) ini juga percaya, ketika ingin berkunjung ke suatu tempat, pelancong tidak hanya ingin tahu tempat-tempat yang populer saja. Apalagi, generasi milenial yang kepingin tahu tempat-tempat baru.
Dan, generasi milenial biasanya mengandalkan aplikasi untuk pelesiran ke tempat-tempat yang belum terkenal. Cuma, aplikasi baru menunjukkan tempat-tempat yang direkomendasikan (recommended).
Padahal, banyak tempat menarik lagi unik yang belum ada di aplikasi. “Tripal hadir memberi solusi, bagaimana menemukan pelancong dengan orang lokal. Sebagai orang lokal, dia tentu cukup lama tinggal di daerah itu sehingga tahu semua aspek daerah itu,” ungkap Kevin.
Menurut Kevin, orang lokal lebih jujur dalam memberikan rekomendasi tempat-tempat wisata di daerahnya. Beda dengan agen perjalanan yang lebih sering mengantar bukan ke tempat yang otentik, justru ke lokasi-lokasi yang memberikan diskon atau komisi buat pemandu wisata (guide).
Alhasil, pengalaman pelancong sebagai konsumen jadi tidak maksimal lantaran ada distorsi. “Orang lokal tidak punya MoU (nota kesepahaman) dengan tempat wisata sekitar. Sehingga, tidak ada kepentingan lain dalam mempromosikan wisata itu,” ujar Kevin.
Cari pendanaan
Untuk menjalankan Tripal, Kevin masih menggunakan modal dari kocek pribadi. Pengeluaran paling besar untuk operasional. Sebab, Kevin dan tim harus datang ke daerah-daerah yang jadi destinasi wisata yang akan ditawarkan di Tripal.
Untuk itu, Kevin berharap ada investor yang tertarik menanamkan modal di Tripal. Dan, ia mengaku, saat ini dirinya sudah banyak bicara dengan inkubator maupun investor perseorangan yang berminat memberikan pendanaan. “Tapi, masih dalam tahap penjajakan,” ucap jebolan Kwik Kian Gie School of Business, Jakarta, ini.
Baru efektif Mei lalu, Kevin bilang, sampai sekarang sudah lebih dari 100 tujuan lokal dari 17 provinsi yang bergabung di Tripal sebagai sahabat lokal (Pal). Bagi yang ingin menjadi Pal, tidak ada pungutan biaya alias gratis. Siapapun, baik mahasiswa, ibu rumahtangga, maupun orang lokal lainnya, bisa mendaftar jadi Pal.
Hanya, ada beberapa aturan main agar bisa bergabung di Tripal sebagai sahabat lokal. Contoh, calon Pal mesti melakukan dua kali verifikasi.
Pertama, verifikasi online. Kedua, verifikasi offline dengan tatap muka atau wawancara dengan perwakilan Tripal di daerah.
Setelah itu, “Kami akan berikan pengayaan dengan e-learning, berupa video, e-book, seminar, dan lainnya, agar Pal bisa belajar menjadi pemandu lokal yang baik,” tambah Kevin.
Juga untuk memastikan kualitas layanan Pal, Tripal menggandeng berbagai pihak untuk menyediakan pelatihan dan pendampingan pengembangan wisata lokal.
Contohnya, dengan Sinergi Indonesia yang akan menghubungkan berbagai pihak untuk menyediakan program pelatihan wisata lokal dan wisata desa. Pelatihan ini sekaligus jadi mekanisme verifikasi kualitas para calon Pal.
Di Tripal, pelancong bisa memilih bahkan merancang sendiri paket perjalanannya, dengan agenda dan tujuan wisata yang fleksibel, tempat makan lokal legendaris, dan kebutuhan tailor made tour lainnya. Termasuk, pemesanan transportasi dan akomodasi unik milik orang lokal atawa homestay.
Nah, Tripal memungut biaya transaksi sebesar 18% kepada pengguna. Dengan begitu, uang yang masuk ke kantong Pal sudah bersih, tidak terkena potongan apapun.
Misalnya, Pal meminta bayaran Rp 200.000 per hari untuk jasanya. Maka, traveler mesti membayar Rp 200.000 plus biaya transaksi 18% dari tarif jasa Pal.
Untuk pembayaran transaksi, Tripal bekerjasama dengan Doku sebagai penyedia layanan payment gateway.
Pendapatan Pal tidak hanya berasal dari biaya jasa menemani para pelancong. Pemandu lokal ini juga bisa memperoleh pemasukan dari jasa paket wisata yang mereka buat dan tawarkan ke wisatawan.
Tripal menawarkan 10 pilihan perjalanan, yakni liburan romantis, liburan santai, perjalanan bisnis, petualangan, wisata alam, wisata belanja, wisata budaya, wisata keluarga, wisata kota, dan wisata kuliner.
Saat ini, platform digital Tripal masih berupa website tripal.co. Dalam waktu dekat, startup itu akan meluncurkan aplikasi bergerak (mobile application). “Kami merasa, bisa lebih lincah jika orang-orang lokal manfaatkan aplikasi mobile Tripal,” kata Kevin.
Ke depan, Kevin optimistis, potensi bisnisnya bakal cerah, mengingat pemerintah dan berbagai pihak sedang gencar mempromosikan pariwisata Indonesia. Terlebih, 90% generasi milenial sudah menggunakan aplikasi sejenis Tripal untuk membantu merancang liburan, tapi belum mendapatkan pengalaman sesuai harapan.
“Platform kami menjawab kebutuhan para traveller yang bergaya hidup milenial, yang ingin pengalaman melancongnya beda, khas lokal, dan tidak terkungkung dengan jadwal dan paket perjalanan yang kaku seperti di paket-paket tur perjalanan umumnya.” ujar Kevin.
Lebih dari itu, Tripal jadi teknologi bantu bagi warga lokal untuk mengembangkan, mengelola, dan memasarkan sendiri potensi wisata daerah.
Reporter Francisca Bertha Vistika Editor S.S. Kurniawan
STARTUP
[youtube https://www.youtube.com/watch?v=Z76KqbJTbOs]
Feedback ↑ x Feedback ↓ x Close [X]