Program Sejuta Rumah Tak Bisa Ngebut di Kota Saya, ini Kendalanya Menurut Saya

Saya tertarik banget ketika membaca artikel di Detik online dengan judul “Program Sejuta Rumah Tak Bisa Ngebut, Ini Kendalanya“. Tertarik membaca sampai habis, karena narasumbernya dari seorang Direktur Jenderal. Nahhhhh, kalau sudah dengar kata jenderal, pasti sudah hebatlah itu orang.  Narasumbernya adalah Maurin Sitorus, Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR. Pasti berbobot dan bisa dipertanggungjawabkan omongannya.

Tertarik untuk sedikit merenungkan sembari membaca, seiya gak dengan pendapat saya. Karena saya pengembang perumahan yang juga mencoba ikut andil memenuhi program sejuta rumah pemerintah. Sehingga dalam usaha mengais rezeki, sedikit banyaknya merasakan kendala-kendalanya juga.

Satu hal yang pasti adalah saya kurang tahu mengenai kendala apa mengapa program sejuta rumah MEJAN di tempat lain. Tetapi saya bisa bercerita tentang pengalaman saya. Dari sudut pandang saya yang tidak tajam nan sempit ini, mengapa tidak ngebut di kota tempat saya tinggal.

Dengan latar belakang ketertarikan tadi dan sebagai pelaku usahanya, saya menuliskan pemikiran saya. Maaf, jika artikel dari Detik hanya saya gubah judulnya menjadi, “Program Sejuta Rumah Tak Bisa Ngebut di Kota Saya, ini kendalanya menurut Saya“.

Kutipan Maurin Sitorus, penjabat Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR dari artikel di detik online tersebut: “Hingga Juni 2016, realisasi program satu juta rumah belum menunjukkan perkembangan yang menggembirakan“.

Menurutnya, tercatat hingga Juni baru terbangun 114.102 unit yang terdiri dari rumah MBR sebanyak 75.456 unit dan untuk Non MBR sebanyak 38.648 unit.

Jika kita tinjau waktu, semenjak groundbreaking proyek tersebut yaitu tanggal 30 Mei 2015 di Semarang Jawa Tengah sampai dengan bulan Juni 2016, proyek satu juta rumah telah berjalan 1 tahun. Jika program ini direncanakan berjalan dalam 4 tahun, dan gampangnya setiap tahunnya haruslah dibangun 250.000 unit.  Maka realisasi pembangunan rumah saat ini adalah sekitar 45% saja.

(Ya… mudah-mudahan angka laporannya valid adanya dilapangan sudah terbangun 114 ribu unit rumah itu. Sehingga mungkin kekurangan target tersebut bisa dipercepat tahun berikutnya. Lah kalau markup?. Positif thinking yang perlu dikedepankan pada kasus begini.

Sebagai pemain yang juga membangun rumah sederhana  (yang kepemilikannya bisa memakai fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan atau FLPP) kami menghitung bahwa hasil bangun (stok) di lapangan kira-kira hanya 100 unit selama 1 tahun ini di Kota Metro.

Hitung-hitungan goblok, jika jumlah total pemerintahan kabupaten, kota, kabupaten dan kota administrasi total adalah 514 buah. Maka jika rumah MBR telah dibangun 75.456 buah seperti data di atas maka per kabupaten/kota rata-rata yaitu 147 buah. Masih di bawah rata-rata kalau begitu di Kota Metro atau datanya yang lebay. Sebagai catatan, dari 15 kabupaten dan Kota di Propinsi lampung, mungkin tidak sampai setengahnya yang tersedia stok rumah subsidi (berkaitan dengan pengusaha dan perbankannya). Positif thinking yang perlu dikedepankan pada kasus begini he he.

Lanjutnya, “Jadi yang belum terbangun ada 885.889 unit. Dari MBR 624.544 unit yang belum dan Non MBR 261.354 unit,”. Maurin merinci, dari jumlah rumah yang terbangun tersebut, sebagiannya sudah terserap oleh masyarakat. Tercermin dari realisasi KPR baru di sektor komersial sebanyak 23.358 unit dan KPR-FLPP alias KPR subsidi sebanyak 60.755 unit.

Untuk pembangunan rumah khusus belum ada realisasinya, termasuk juga rusunawa, rumah terintegrasi, dan pembangunan perumahan yang dilakukan oleh Pemda belum ada realisasi pembangunannya,”ujarnya.

Kendala menurut pemerintah mengapa program sejuta rumah tidak tercapai target

Maurin mengatakan, ada sejumlah kendala mendasar yang menyebabkan realisasi program sejuta rumah belum maksimal. “Kami sudah berikan stimulus agar masyarakat mudah memiliki rumah. Tapi ternyata di lapangan suplai rumah yang dibangun pengembang belum bisa memenuhi permintaan yang ada,” kata Maurin.

Penyebabnya dari mulai sulitnya mencari lahan yang sesuai, hingga masih berbelitnya aturan yang ada.

“Sekarang begini, rumah untuk MBR kan harganya kita kunci agar tidak terlalu tinggi. Masalahnya, ketika mencari tanah dan kalau harga tanahnya terlalu tinggi maka nggak akan masuk hitungan mereka untuk menyediakan rumah dengan harga yang kita kunci. Ini kendalanya,” papar dia.

Untuk itu, saat ini pihaknya terus berupaya menyederhanakan perizinan dan regulasi terkait pembangunan rumah. Agar lebih banyak rumah bisa dibangun dan bisa memenuhi kebutuhan masyarakat.

Salah satu regulasinya adalah juga mendorong penyediaan kredit konstruksi. Jadi bukan hanya masyarakatnya yang akan membeli rumah yang disubsidi, tapi pengembangnya juga kita dukung supaya bisa lebih banyak bangun rumah,” pungkas dia.

Program Sejuta Rumah Tak Bisa Ngebut di Kota Saya, ini Menurut Saya

Jika saya rangkum kendala menurut pemerintah program sejuta rumah tidak tercapai target adalah harga tanah sudah mahal (cari tanah murah susah), aturan masih berbelit, pengembang yang kompeten sedikit (kebanyakan pengembang kurang modal seperti saya).

Saya tinggal di Kota Metro – Propinsi Lampung. Mari kita cross check kendala dari kaca mata pemerintah versus dari kacamata saya.

1. Apakah tanah di Kota Metro sudah mahal dan tidak cocok untuk perumahan murah?. Saya akan jawab bisa IYA bisa TIDAK. Tetapi menurut saya bukan kendala utama, jika ditodong dikasih duit harus jawab apakah tidak ada lahan lagi untuk perumahan murah?. SIAP GRAKK! maka saya akan jawab TIDAK, masih tersedia. Karena jika ingin berusaha mencari, selalu ada tanah yang masih cocok harganya untuk perumahan murah di kota-kota di luar pulau Jawa. So, begitupun di Kota Metro.

2. Apakah aturan masih berbelit?. 6 (enam) bulan sebuah keniscayaan untuk mengurus sebuah izin perumahan (kecilllll), gak tahu kalau berapa lama dibutuhkan waktu kalau perumahan besar. Untuk luas di bawah 1 hektar pun harus mengurus izin-izin yang banyaknya luar biasa, bisa 9 buah dinas dan instansi terkait lainnya mesti kita sambangi.

Tapi kabarnya dari teman yang melaksanakan pembangunan di kota lain jika dibandingkan, pelayanan di Kota Metro pelayanannya jauh lebih baik dari Kota Lain. Alamak….  gak kebayang dah di kota lain kalau begitu.

Katanya, jangan ditanya kapan dan dimana tidak berbelit kalau di Indonesia. Ternyata masih membutuhkan waktu dan kemauan semua pihak untuk membenahinya. REVOLUSI MENTAL.

3. Banyak pengembang kurang kompeten (kurang modal)?. Nah ini saya jawab pasti untuk saya : IYA. Banyak pengembang kacangan yang mengerjakan perumahan sederhana dan subsidi. Pengembang besar-besar karena tahu berdasarkan pengalaman pasti ribet dan untung tipis, tentunya akan memilih untuk membuat kota baru, apartemen, town house, kondo. Ngapain maenan gituan?.

Nah yang kurang modal seperti saya alias pengembang kacangan, ya bahasa kerennya NYESER, yang ada yang ketangkep, yang mampu, kecil-kecil,  DIAMBIL.  Makanya hendaknya PENGEMBANG PERUMAHAN KECILdibantu, yang kecil seperti kami dibimbing, dicoba dipercayai jangan dipersulit. Buat kebijakan makro yang baik, misalkan suku bunga kredit yang khusus buat pengembang kecil he he. 

20160513_144809INTINYA pendapat saya, kontribusi hambatan terbesar ada di pemerintah sendiri.

Baik dari segi perencanaaan, pelaksanaan, dan monitoringnya.

Program pemerintah itu sendiri masih bermasalah dan lini-lini pendukungnya masih kurang baik terkoordinasi.

Jika program itu tidak bermasalah, tentunya stake holdernya akan gegap gempita pelaksanaanya. Seperti setengah hati saja melaksanakannya. Semisal, kabar burungnya, “itu FLPP gak ada dananya he he”. Bank mau klaim selisih bunga subsidinya susah bin angel karena anggaran mepet. (Mudah-mudah hanya kabar angin saja, khan kita terus memaksimalkan potensi utang untuk membenahi infrastuktur agar laju ke depan lebih KENCANG).

Kasus nyata. Masalah lini pendukung, misalkan masalah PERBANKAN.

Bayangkan di Kota Metro, dari 9 bank yang seharusnya berkomitmen/ditugasi untuk mendukung program kepemilikan rumah dengan FLPP hanya 2 yang melaksanakannya.

Sebagai catatan 9 bank umum tersebut yaitu :
1. Bank Tabungan Negara (BTN)
2. Bank Tabungan Negara (BTN) Syariah
3. Bank Rakyat Indonesia (BRI)
4. Bank Rakyat Indonesia (BRI) Syariah
5. Bank Mandiri
6. Bank Mandiri Syariah
7. Bank Negara Indonesia (BNI)
8. Bank Artha Graha
9. Bank Bukopin

Bank umum nomor 1 sampai dengan nomor 7 mendirikan kantor di Kota Metro. Namun, sampai dengan saat ini, di KOTA METRO hanya Bank Tabungan Negara (BTN) dan Bank Rakyat Indonesia (BRI) Syariah yang melayani dengan setengah hati program FLPP.

Appresiasi buat mereka!!

Sedangkan bank yang lain seperti tidak kenal program FLPP walaupun menurut informasi dari pemerintah turut menyalurkan FLPP. Kemungkinan mereka punya pertimbangan bisnis sendiri. Sebagai mantan pegawai di sebuah bank, bahasa klisenya — Belum ada SE-nya (surat edarannya).

Kemudian, Bijimane prosesnya untuk memperoleh KPR Subsidi FLPP?.

Sedikit berbagi kegundahan. RIBET!!! kata konsumen-konsumen yang telah lolos maupun yang tidak lolos.

Misalnya, untuk KPR Subsidi, Bank Bri Syariah menurut manajemennya hanya menetapkan untuk manusia berpenghasilan tetap, manusia yang gak berpenghasilan tetap nanti dulu.

Ketika gundah, sering main perasaan. “perasaan saya negara ini ingin mengembangkan kewirausahaannya. Kenapa sulit sekali percaya ke orang sejenis kami”.

Dan jika anda pernah menunggak kredit atau pembiayaan sekali saja, sudah duluuuuuuu, sudah lunassssssssssss, maaf ya hmmmm jangan berharap. Nehi  nehi….

Saya jadi kurang mengerti, bagaimana seorang analis kredit bisa memutuskan kredit hanya dari BI Checking saja. Saya yakin petugasnya tidak bersalah. Takut disalahkan karena sistem (SOP) yang ada.

Tapi dibantu oleh dua bank tersebut, kami sudah sangat bersyukur…., mudah-mudahan bank lain nantinya ikut turut mensukseskan program pemerintah ini.

Kesimpulannya, kunci di bisnis pengembang perumahan adalah ARUS KAS. Bayangkan kesulitan pengembang yang baru belajar seperti kami. Harga tanah sudah mahal, tidak bisa beli luas-luas sehingga harga kavling lebih mahal. Izin buat perumahan 6 bulan, harus bangun rumah sampai selesai pakai modal sendiri baru bisa jual, setelah akad kredit mesti tunggu lagi antri minimal 1 bulan verifikasi di Kementrian baru bisa dicairkan. Ha ha nasib subsidi.

Berbagi cerita, persediaan rumah 40, habis 40 unit. Rekan saya punya persediaan 50 habis 50 hanya dalam waktu 1 bulan. Ternyata rakyat Indonesia mendambakan rumah-rumah tersebut.

Masih ada keuntungan dari perumahan bersubsidi.  Tapi seperti kata “Adi”, tapi kecil-kecil bu!!.

Ditambahi kebutuhan masyarakat yang tinggi. Cuan tipis jika jumlah/kuantiti banyak khan lumayan juga marginnya. Tetapi jika proses berkaitan arus kasnya menjadi panjang, akan sangat menyulitkan pengusaha.

Jika untung tipis dan prose sulit, wajar saja alias mendingan cari alternatif yang lain. Saya pikir itu hal yang wajar dari sisi pengusaha.

Program sejuta rumah tersebut sudah baik, namun perlu kerja keras semua pihak untuk menyukseskannya. Ya…, semua pihak perlu bekerja keras. karena ini negara kita bung!.

Saya berani bilang, kendalanya adalah di kalian (pemerintah) sebagai regulator, kami (pengusaha) akan terus berusaha. Karena tugas kami bukan menggerutu, tapi berusaha. Dan tugas kalian mengatur negara ini, aturlah dengan baik dan bijaksana. Jangan blame it on the rain… Sukses untuk program sejuta rumah.

Leave a Reply